Halo bro sist yang lagi nyari tugas, nih saya bagikan tugas orang juga mengenai kritik sastra. menganalisis sebuah karya. Ini tugas nya Shafiyyah Khaerunnisa mahasiswi cantik dari Universitas Muhamadiyah. tadinya mau saya bikin dalam bentuk pdf, tapi berhubung males, jadi saya copas aja. oke, langsung aja simak.
Nama :
Shafiyyah Khairunnisa
Kelas :
7B
Prodi :
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
BAB III
PENILAIAN KARYA SASTRA
Kritik
sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan bernilai seni
atau tindaknya. Dalam kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai. Karya
sastra adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya seni lainnya:
seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya, di dalamnya sudah mengandung
penilaianurn: seni.
Menurut pendapat Rene Wellek bahwa,
kita tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjuk kepada
nilai, karena kalau kita menyatakan suatu struktur sebagai katya seni, kita
sudah memakai timbangan penilaian. Jadi, bila kita mengkritk karya sastra tanpa
penilaian, maka karya sastra yang kita kritik itu tetap tidak dapat kita pahami
baik-buruknya, atau berhasil tidaknya sastrawan mengungkapkan pengalaman
jiwanya.
Aoh Kartahadimadja
mengemukakan bagaimana H.B. Jassin menyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka
syarat pertama yang diletakkannya ialah kepada keindahan dan barulah pada moral.
Baik keindahan atau moral itu sebyektif.
“Sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian
yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi
sipendengar atau sipeninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian ini
didapatnya, maka lebih senanglah ia”.
Bagaimana baik-buruknya
sajak, di sini Aoh menggunakan perasaan intuitif saja hingga di sini tidak ada
ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya
sastra.
Kesustraan menurut Gazali, B.A :
“Sastra
(castra) dari bahasa Sanskerta yang artinya tulisan atau nahasa yang indah:
yakni hasil ciptaan bahasa yang indah, indah dalam pengertian yang telah kami
uraikan di atas. Jadi kesustraan ialah pengetahuan mengenai hasil sei bahasa,
perujukan getaran jiwa dalam bentuk tulisan.”
Kesustraan menurut Simorangkir-Simanjuntak:
Demikian
kata kesustraan terdiri dari: susastra = artinya huruf atau buku.
Kesustraan = kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya.
a. Kepandaian
seni yang dipergunkan orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah, dan
permai dengan bahasa sebagai alatnya.
b. Semua
pelajaran mengenai kesustraan.
c. Jumlah
karangan, buah tangan, dan buku yang baik serta berguna untuk kesustraan.
Kesustraan menurut Zuber Usman, B.A:
Hasil
pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesustraan atau seni sastra.
Kesustraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum
bagian dari nebudayaan.
Kesustraan
pokok katanya sastra (castra. Skt) = tulisan atau bahas; su (Skt): indah, bagus
... susastra = bahasa yang indah, maksudnya hasil ciptaan bahasa yang indah
atau seni bahasa. Kesustraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an). Yang dimaksud
dengan kesustraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dengan tulisan atau
bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan
masyarakat atau anggota masyarakat.”
Kesustraan menurut Suparlan D.S :
“Kesustraan
atau kesenia bahasa atau seni sastra adalah ‘kesenian’ suatu bangsa dalam
melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya.
Kesenian ialah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam
kebudayaan dan berjiwa kecantikan.”
Kesustraan menurut H.F Sitompul:
“Kata
kesustraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya, segala
yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindahan kata-kata dan
susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis,
itulah kesustraan. Tetapi tidak pula semuanya. Yang isinya merupakan ilmu
pengetahuan tidak termasuk kesustraan. Warta berita dan yang serupa dengan itu
pun tidak terhitung hasil seni bahasa (kesustraan). Kata seni menunjukkan bahwa
pemakaian bahasa harus berkesan keindahan bagi si pembaca atau si pendengar.”
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa baik Ghazali. B. A, B. Simorangkir, Zuber Usman, Suparlan D. S, maupun
H.F. Sitompul mengakui bahwa kesusastraan itu karya seni yang ditulis dengan
bahasa yang indah. Hanya bagaimana wujud karya sastra itu, atau bagaimana corak
karya sastra itu kurang dapat ditunjukkan mereka.
Kesustraan menurut Rene wellek:
1. Seni
sastra ialah segala sesuatu yang dicetak
2. Seni
sastra terbatas pada buku-buku yang “terkenal”, dari sudut isi dan bentuknya
3. Lebih
baik jika istilah “kesusastraan” dibatasi pada seni sastera yang bersifat
imaginatif
Sifat-sifat tersebut
mempengaruhi juga penggunaan bahasa dalam penciptaan sastra. Bahasa sebagai
alat untuk menjilmakan tangan, hayal, dunia angan sastrawan hingga menyebabkan
adanya kekhususan dalam pemakaian bahasa dalam seni sastra.
Rene wellek berpendapat
“sebaiknya kita berpandangan bahwa karya sastra ialah karya-karya yang fungsi
estetiknya dominan.”
Dengan konsep-konsep
tersebut, yaitu sifat imaginatif adalah hakikat karya sastra, sifat konotatitif
pada bahasa sastra, unsur estetik yang dominan pada karya sastra, maka dapat
dimasukkan segala karya yang bersifat lirik, epik dan dramatik kedalam
lingkungan karya sastra, dari yang terbaik hingga yang terburuk sekalipun. Karya
sastra yang “imaginatif” dan “yang seni”. Dalam arti karya sastra yang bermutu
ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru
(kreatifitas) dan keahlian cipta, disamping itu yang bersifat “seni”.
Pendapat Herbert Read:
“.....karena
seni tidak perlu indah: hingga tidak dapat dikatakan begitu diributkan. Apakah
kita melihat persoalan itu menurut sejarah (dengan anggapan bahwa karya sastra
telah ada pada zaman-zaman lampau) maupun secara kemasyarakatan (dengan
anggapan apakah seni nyata-nyata ada dalam pernyataan-pernyataan sekarang ini
di seluruh dunia) kamidapati bahwa seni sering tidak punya (keindahan) atau
bukan barang yang indah.”
Secara klasikal orang dapat
mengatakan: kesusastraan adalah suatu keseluruhan cipta manusia baik dalam
prosa maupun puisi untuk mengucapkan suatu keindahan, tetapi bila orang telah
meninggalkan bangku sekolah, ia akan ragu dengan pengertian-pengertian tentang
keindahan yang telah diterimanya diwaktu yang lalu.
Pendapat N.G. Tjernisevski, pemikir filsyuf Rusia:
“Sebuah
karya snei memanglah akan indah apabila senimannya telah membawakan dalam
karyanya segala yang dimaksudkan untuk dibawa ke dalam karyanya. Sudah tentu
sebuah potret bagus adanya hanya jika senimannya telah berhasil untuk
“melukiskan secara seksama semua ciri-ciri yang hendak dilukiskannya.” Namun
untuk “melukiskan seuatu paras dengan
indah” dan untuk “melukiskan sesuatu
paras yang indah” adalah dua hal
yang sama sekali berlainan.”
Keindahan kesusastraan
menurut Thomas Aquino yang dikutip
oleh Slametmuljana:
“Untuk
keindahan ada tiga syarat: 1) keutuhan atau kesempurnaan; karena segala
kekurangan mengakibatkan keburukan. 2) keselarasan bentuk atau keseimbangan. 3)
sekali lagi sinar kejelasan, oleh karena itu, apapun yang terpancar, sinar
kejelasan, boleh disebut indah.” (dari Suma Theologie).
Slametmuljana menyimpulkan:
Pada tiap barang yang kita anggap indah terdapat tiga macam ciri: 1) keutuhan
2)keselarasan bentuk 3) kejelasan atau sifat gilang cerlang.
Keindahan kesusastraan menurut
Mundingsari:
“ dan
bahkan akhirnya, terutama sejak awal abad ke-20, ad sebuah aliran yang mencoba
membatalkan arti keindahan sama sekali dengan jalan menolak keindahan model
klasik, (keats : keindahan adalah kebahagian abadi= a thing of beauty is a joy 4ever; Oscar Wild: seni adalh hidup= art is nothing but live) dn dengan
jalan mengatakan bahwa keindahan tidak ada kecuali keterusterangan dan
kenyataan dalam kesusastraan.
Indah atau keindahan itu
hanya salah satu aspek saja dari sifat seni, arti indah tidak dapat meliputi
atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam pengertian seni ada unsur
lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifat “seni” juga karena dapat berhasil
diungkapkan dengan indah. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung kata indah
dan agung, besar atau sublim.
Karya sastra bernilai seni
bila dalamnya terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan daya
cipta dan keaslian cipta, maka kian tinggi nilai seninya.
Pendapat Rene Wellek:
“Bahwa
fungsi seni sastra pada dasarnya tetap sepanjang zaman setelah menyelidiki
sejarah estetika dan poetika. Rene Wellek mengutip pendapat Horace bahwa seni
itu sifatnya dulce et utile; dan berkesimpulan. “sejarah estetika dapat
diringkaskan sebagai suatu dialektika yang tesisnya dulce et utile, artinya
bahwa puisi iu menyenangkan dan berguna. Kedua sifat itu apabila berdiri
sendiri merupakan pust salah paham pengertian fungsi puisi”.
Pendapat Richards:
“Pertentangan
sepanjang zaman seperti apakah urusan (kegunaan)puisi adalah untuk kesenangan
atau untuk mendidik tampak dengan jelasnya dalam hal (yang berikut) ini.
‘Penyair-penyair ingin memberikan didikan atau menyenangkan atau menggabungkan
keduanya’. Kata Horace dengan hati-hati. ‘menghubungkan yang kuat (tetap) dan
berguna dengan yang menyenangkan.’ ‘Hanyalah tujuan untuk menjadi kegunaan’.
Begitulah pikiran Boileaue dan rapin. Dreyden, halus dan menyentuh hati dalam
caranya, adalah ‘memuaskan bila ia (puisi) menyenangkan karena kesenangan
adalah terutama, tetapi bukan satu-satunya, tujuan puisi: memberi didikan dapat
diterima (disetujui) tetapi ditempat yang nomer dua: karena puisi hanya memberi
didikan bila menyenangkan.”
Itulah hakikat fungsi karya
satra menyenagkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya
sastra itu sendiri. Kedua sifat itu adanya bersama-sama (simultan) dan tidak
dapat dipisahkan karena meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila
diungkapkan itu hanya hal-hal yang remeh, tak ada artinya, maka tidak ada
gunanya atau kegunaannya sedikit.
Seni (sastra) itu
menyenangkan dan berguna karena hakikatnya sendiri, seperti gula rasanya manis
itu sifat hakikatnya sendiri. Seni sastra itu menyenangkan karena bersifat
seimbang (harmonis), berirama, kata-katanya menarik hati, mengharukan,
mengandung ketegangan, dan sebagainya.
Dalam menilai karya sastra
berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kriteria hakikatnya itu, sedang
fungsi-fungsi lainnya diluar hakikatnya itu jatuh nomer dua bila masih
menghendaki penilaian karya sastra sebagai karya seni. Artinya, karya sastra
yang menganut paham apapun, pertama-tama harus memenuhi fungsi hakikat seni
sastra : menyenangkan dan berguna.
Pada dasarnya ada tiga paham
tentang penilaian yang penting:
1.
Penilaian
relatifisme ialah paham penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian
lagi”, atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan jaman terbitnya karya
sastra. Bila suatu karya sastra dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada
suatu tempat dan pada jaman tertentu, maka karya sastra itu haruslah dianggap bernilai
pua pada jaman dan tempat lain. Jadi, ini sudah tidak menghendaki penilaian
lagi.
2.
Penilaian
absolut ialah menilai karya sastra berdasarkan paham-paham, aliran-aliran,
politik, moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis
dan berdasarkan pandangan yang sempit hingga dengan demikian sifat penilaiannya
tdak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan hakikat seni sendiri.
3.
Penilaian
perspektif ialah menilai karya sastra dari berbagai perspektif dari
berbagai-bagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra
pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa-masa
berikutnya.
Jadi, menilai karya sastra secara perspektifisme itu
ialah menilai menurut penilaian waktu terbitnya karya sastra itu, menurut
penilaian jaman-jaman yang telah dilalui, juga menurut penilaian jaman
sekarang.
Pengertian norma menurut Rene wellek:
“Istilah
‘norma’ di sini jangan dikacaukan dengan norma-norma klasik atau romantik,
etika atau politik. Norma-norma itu harus kita pahami sebagai norma implisit
yang harus ditarik dari setiap pengalaman individukarya sastra bersama-sama
merupakan karya sastra yang murni itu sebagai keseluruhan”
Karya sastra itu tak hanya
merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis (strata)
norma. Masing-masing norma itu menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek
mengemukakan analisi Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan
metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis lapis-lapis norma itu:
1.
Lapis
suara (sound stratum) dasar timbulnya
2.
Lapis
arti (units of meaning)
Masing-masing
kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari
struktur sintaksis ini timbul
3.
Lapis
obyek yang dikemukakan, “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting)
4.
Lapis
dunia yang diliha dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan,
tetapi terkandung di dalamnya (implied)
5.
Stratum
metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat
mulia, tragis, mengerikan, dan cusi. Lapis ini tak selalu terdapat pada karya
sastra.
Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat
hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra
penjilmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya dengan medium bahasa
Dalil-dalil seni sastra:
1.
Puisi
mempunyai nilai seni bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat
dijelmakan ke dalam kata.
Tambahan lagi
nilai seni itu bertambah tinggi bila pengalaman itu tidak lengkap.
2.
Pengalaman
jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin banyak meliputi
keutuhan jiwa.
3.
Pengalaman
jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin kuat.
4.
Pengalaman
itu makin tinggi nilainya bila isi pengalaman itu makin banyak (makin luas dan
makin perinciannya)
Menilai karya sastra harus berdasarkan pada
hakikat sastra sendiri, yaitu harus bersifat seni: artinya karya sastra harus
indah, sublim, dan besar atau agung. Maka dalil pertama J. Eleme itu memenuhi
kriteria estetik, sedang dalil kedua, ketiga, dan keempat memenuhi kriteria
kebesaran atau keagungan atau bersifat kriteria ekstra-estetik. Dalam menilai
karya sastra kedua kriteria itu harus dikenakan, berjalinan erat, tak dapat
dipisah-pisahkan.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari
lima tingkatan.
1.
Niveau anargonis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang
sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam,
dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera.
2.
Niveau vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan,
seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daun,
dan sebagainya.
3.
Niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai oleh binatang,
yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah.
4.
Niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh
manusia, berupa belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa gotong
royong, saling bantu-membantu dan sebagainya.
5.
Neveau religius atau filosofis,
yaitu tingkatan jiwa yang tertinggi, tingkatan ini tidak dialami oleh
manusia sehari-hari, hanya dialami bila sembahyang, dzikir, berdoa, juga pada
waktu merenungkan hakikat dunia, kehidupan, dan sebagainya.
Dalam suatu karya sastra haruslah kelima
tingkatan ini terdapat di dalamnya, kalau tidak, karya sastra itu kurang atau
tidak bernilai seni. Bila karya sastra hanya sampai pada tingkatan pertama,
kedua, atau ketiga saja, maka hanya akan memancarkan nafsu-nafsujasmaniah. Maka
harus disublimir dengan tingkatan diatasnya yaituyaitu tingkatan human atau
religius hingga memberi gambaran suatu dunia peradaban yang tinggi, sedangkan
bila hanya mencapai tingkatan animal itu, hanya merangsang nafsu dan keinraan
saja, seperti karangan-karangan cabul atau pornografis itu hanya mencapai
tingkatan ini.
Kesimpulannya, suatu karya
sastra yang kian banyak memancarkan tingkatan pengalaman jiwa dan merupakan
keutuhan akan tinggi nilainya, ditambah lagi bila pengalaman itu makin lengkap,
karya sastra jadi semakin hidup, besar dan agung, jadi kian tinggi mutunya.
Karya sastra adalah karya
seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas. Dalam definisi sastra
telah disebutkan bahwa karya sastra itu karya yang bersifat imaginatif, yaitu
bahwa karya sastra itu terjadi akibat penganganan dan hasil penganganan itu
adalah penemuan-penemuan baru, kemudian penemuan baru itu disusun ke dalam
suatu sistem dengan kekuatan imaginasi hingga terciptalah suatu dunia baru yang
sebelumnya belum ada.
Bab IV
Analisis Karya Sastra Dan Penerapan Nilai
Sajak Sitor Sutumorang dari surat kertas hijau:
Cathedrale De Chartres
Akan bicarakah Ia dimalam
sepi
Kala salju jatuh dan burung
putih-putih?
Sekali-sekali ingin berserah
hati
Dalam lindungan sembahyang
bersih
Ah, Tuhan, tak bisa lagi kita
bertemu
Dalam doa bersama kumpulan
umat
Ini kubawa cinta di mata
kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari
pada kiamat
Menangis ia terseduh di hari
Paskah
Ketika kamu ziarah di
Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca
basah
Keristus telah disalib
manusia habis kata
Maka malam itu sebelum ayam
berkokok
Dan penduduk chartres
meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam
rontok
Mengembara ingatan dihujan
gerimis
Pada ibu, isteri, anak, serta
Isa
Hati tersibak antara zinah
dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu
Demikianlah kisah cinta kami
Yang bermula dipekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre
Dameame de Paris
Dimusim bungan dan mata
remang
Demikianlah kisah hari Paskah
Ketika seluruh alam diburu
resah
Oleh goda, zinah, cinta dan
kota
Karena dia, aku dan isteri
yang setia
Maka malam itu di ranjang
penginapan
Terbawa kesucian nyanyi
gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan
rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan
pelukan perempuan
Demikianlah
Ceritera Paskah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Dibumi Perancis
Dibumi manis
Ketika Kristus disalibkan
Menurut analisis Roman
Ingarden. Pertama lapis bunyi, terutama
disini bunyi-bunyi yang mengandung ekspresi kuat, yang adanya memang disengaja
oleh penyair untuk mengekspresikan pengalaman jiwanya.
Kedua, Lapis arti, disni Isa lambang kesucian, kejujuran, kebaikan, dan
juga kesetiaan. Maksudnya “bicara” disini, seolah-olah Isa berbicara dalam hati
si aku untuk mengingatkannya kepada kesucian, kejujuran, dan kesetiaan.
Bait kedua, ini kubawa cinta
dimata kekasih kelu: aku (penyair) jatuh cinta atau mencintai (membawa cinta)
kepada kekasih yang sedih. “membawa cinta” disini mengonkretkan, seolah-olah
cinta itu dapat dipegang dan dapat dilihat.
Bait ketiga, yaitu
pencampuran imaji dua inderaan yang berbeda: bunyi dan warna. Di warna kaca
basah: dalam warna kaca basah, seperti warna kaca basah, yaitu remang-remang,
suram, menandakan sedang terlibat dalam kesedihan.
Bait keempat, manusia habis
kata: manusia kebingungan, tak dapat berkata lagi, artinya tidak dapat
membedakan baik buruk karena tanpa bimbingan karena kristus telah di salib.
Tersedu ia dalam daunan malam rontok: seolah-olah suara sedunya itu seperti
daun-daun yang gugur pada waktu malam disertai hujan dan angin. Mengembara
ingatan: si aku teringat dengan (isteri dan anaknya).
Baik kelima, hati tersibak
antara zinah dan setia: hati jadi dapat membedakan antara penghianatan zinah
dengan cinta (kesetiaan). Hidup dan kiamat bersatu padu: tiada berpisah hidup
dari kiamat. Perasaan ini timbul karena penyair sadar akan perbuatan dosanya.
Bait keenam, kisah cinta
kami: kisah percintaan antara si aku dengan kasihnya. Di pekan kembang:
ditempat wanita-wanita P (wanita malam) menjajakan dirinya, ungkapan ini untuk
memperhalus (sublimasi) realitas yang kasar menjadi halus dan sopan, supaya
sesuai dengan suasana khusuk berdoa (sembahyang).
Bait ketujuh, hari Paskah:
hari ketika Kristus disalib, artinya pada hari turunnya dosa orang tidak tahu
kebenaran, kejahatanlah yang menang. Diburu resah: di kejar-kejar kegelisahan,
ungkapan ini untuk mengonkretkan dan menghidupkan gambaran mendramatisir betapa
gelisah hati manusia.
Bait kedelapan, terbawa
kesucian nyanyi gereja kepercayaan: Suasana khusuk, suci karena nyanyia gereja:
ketika ia bersembahyang merasakan suasana yang suci, perasaan itu terbawa,
terasa sampai waktu ia tidur di penginapan, menyebabkan bahwa ia merasa:
bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan.
Bait kesembilan, bait ini
merupakan ulangan kisah percintaan dan segala peristiwa pertentangan batin si
aku yang terjadi pada hari paskah ketika hujan salju dan dengan penuh
kesedihan, kegelisahan, pada waktu bunga-bunga merekah (waktu gadisgadis dan
wanita-wanita P keluar malam saling berlomba kecantikan).
Lapis ketiga, yaitu
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dalam dunia
pengarang itu kelihatan pelakunya adalah si aku dengan kekasihnya, latar
terjadinya peristiwa pada waktu malam dan digereja. Objek-objek yang
dikemukakan adalah gereja, salju, burung-burung putih, daunan, hujan gerimis,
kokok ayam, pasar kembang, bunga-bunga merekah, ranjang.
Lapis keempat, yaitu
“dunia” yang dipandang dari sudut pandang tertentu yang implisite adalah
sebagai berikut. Dipandang dari objek-objek yang dikemukakan, dapat dimengerti
bahwa dunia yang dikemukakan adalah dunia kristen. Objek-objek dan latar
tersebut seperti Cathedrale De Chartres,
Isa, sembahyang, Tuhan, gereja, hari paskah, notre dame de Paris. Ceritanya
terjadi di Paris. Pelakunya seorang krissten, dismping itu, ia adalah penganut
faham atau filsafat eksistensialisme.
Lapis kelima, dalam
sajak ini, atau cerita yang tersebut dalam lapisan norma ketiga, penyair
mengemukakan persoalan yang ingin “membuka kedok kekacauan” batinnya lewat
sajak-sajaknya.
Disini teranglah bahwa bahwa sajak itu memenuhi
tingkat pengalaman jiwa yang pertama, tingkat anorganis, yang harus ada dalam
sajak untuk memberikan gambarab konkret atau untuk memberi bentuk dan wujud
kepada pengalaman-pengalaman jiwa yang lain yang hendak dibeberkan itu. Dengan
terpancarnya pengalaman jiwa tingkat pertama itu, maka sajak dapat menunjukkan
sebagian nilai seninya. Maka, dari sudut ini saja sajak ini sudah menjadi
puitis dan bernilai seni.
Pengalaman jiwa tingkat kedua, niveau vegetatif, yaitu suasana sajak (mood)yang memberikan keharuan kepada
sajak itu.
Tingkat pengalaman jiwa yang ketiga, niveau animal, ini berupa nafsu-nafsu
hidup, tanggapan-tanggapan inderaan yang konkret, nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam
sajak yang dibicarakan ini, terpancar dalam kata-kata ungkapan-ungkapan yang
dapat menimbulkan tanggapan penginderaan yang jelas dan rangsangan kepada
perasaan naluri jasmaniah,
Tingkat keempat, niveau human yang lebih
tinggi, dalam sajak ini tampak dalam kesadaran si aku bahwa ia sadar telah
mengkhianati isteri dan anak-anaknya, serta merasa berdosa atas perbuatannya
itu. Kesadaran ini menyebabkan ia merasa hidup dalam kiamat.
Tingkat pengalaman jiwa yang tertinggi, niveau religius, filosofis, atau metafisik.
Judul Cathedrale de Chartres,
ini sudah memberi persediaan untuk renungan yang bersifat ketuhanan. Juga, Ia
yang berarti Isa, membawa pembaca
kepada renungan suasana keagamaan. Begitujuga kata-kata: Tuahn, doa, umat,
kiamat, hari paskah, gereja, salib, Notre Dame de Paris, dan sebahyang,. Segala
kata itu memberikan pengalaman ketuhanan, keagamaan, dan memberikan renungan
kepada hakikat yang tertinggi.
Sajak Cathedrale de Chatres ini dapat memenuhi kriteria yang
diajukan oleh J. Elema, yang berupa dalil-dalilseni sastranya itu. Dengan
demikian, sajak ini mempunyai nilai seni yang tinggi.
Bila nilai seni ini dinyatakan dengan definisi
Benedetto Croce: sajak ini mengandung nilai keindahan karena cara pembeberannya
berhasil baik sebagai sifat seni yang pokok.
Bila dinyatakan dengan pengertian keindahan menurut Slametmuljana,
sajak ini indah karena cara pembeberannya berhasil baik sehingga pembaca dapat
turut mengalami segala pengalaman jiwanya, kesedihannya, kegelisahannya, dan
segala keharuannya dalam menghadapi soal-soal yang dibeberkan.
Kalau dinyatakan dengan kriteria estetik sajak
ini bernilai estetik, disamping itu mengandung kebesaran karena dapat
menampilkan pengalaman jiwa yang besar, yang dapat dijilmakan kedalam sajak
secara estetik.
Jadi sajak Cathedrale de Chartres ini memenuhi
nilai keaslian, banyak mengandung daya kreatif, menunjukkan daya cipta yang
besar. Hendaknya kita ingat bahwa arti keaslian adalah bukan menjiplak; kedua
karya sastra ini mengandungdaya cipta karena kebatruannya, belum pernah ada
sebelumnya.
Sajak W.S. Rendra:
DOA
SEORANG SERDADU SEBELUM PERANG
Tuhan
ku
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
Dan firman mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
Dan firman mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebarkan di bumi subur ini
Tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
Sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhan ku
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah
satu warna
Dosa dan nafsuku
Dosa dan nafsuku
adalah
satu udara
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
biarpun
bersama penyesalan
Apa yang bisa diucapkan
Oleh
bibirku yang terjajah,
Sementara kulihat kedua tangan Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati Mu
Tuhan ku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Sementara kulihat kedua tangan Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati Mu
Tuhan ku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Dalam sajak ini tingkat anorganis sudah dapat
dicapai. Seperti, ada pembagian baris sajak dan bait yang sesuai dengan
pembagian isi pikiran, enjambement
(perloncatan bait sajak), dan pola persajakan. Disamping itu, ungkapan-ungkapan
yang puitis disebabkan keplastisan dan sugestif.
Tingakt kedua niveau vegetatif, juga dapat tercapai oleh sajak ini. Disini adalah
suasana ketuhanan, pertemuan antara seorang manusia dengan Tuhan, pada waktu
berdoa. Disini ada pertentangan batin yag hebat; ia menyadari bahwa membunuh
itu berdosa, tetapi tidak ada pilihan lain, kalau ia tidak membunuh tentu
terbunuh.
Tingkat ketiga, niveau animal, di sini berisi pengonkretan, tanggapan penginderaan
seperti telah diterangkan di atas, seperti misalnya personifikasi
(anthropomorf) untuk Tuhan: wajah-Mu, kedua lengan-Mu. Sinaesthesia: warna
dosa. Begitu juga ungkapan : malam dan wajahku satu warna.pengonkretan
penginderaan: kota terbakar, kuburan yang dangkal, benih, bumi subur,
menusukkan sangkurku dan bibirku yang terjajah.
Pengalaman jiwa tingkat keempat, niveau huma. Disini penyair melihat atau
menyadari kesadaran moral baik-buruk, rasa belas kasihan, rasa simpati hingga
menimbulkan pertentangan batin yang hebat. Penyair mengutuk kejahatan perang
mengalami kekejaman perang yang menimbulkan kehancuran peradaban dan
kemanusiaan, menyebabkan kota terbakar, kuburan yang dangkal terserak di
mana-mana, anak-anak menangis kehilangan ayahnya, isteri-isteri kehilangan
suaminya, tanah-tanah kosong tak ada yang menggarap, bumi yang subur
terbengkalai.
Tingkat religus/Filosofis
Doa... kata ini sudah membawa kita kepada
renungan keagamaan, ketuhanan. Juga, sajak itu sendiri berupa doa kepada Tuhan,
berupa pertemuan antara manusia dengan Tuhan. Renungan sampai kepada hakikat
bahwa manusia dan alam ini berada di bawah kekuasaan Tuahn, begitu juga hidup
dan mati manusia. Maka, siapa yang melanggar firman Tuhan itu berdosa.
Dengan demikian, sajak “Doa Seorang Serdadu
Sebelum Perang” ini dapat memenuhi kriteri puisi yang bernilai seni, indah
beberannya (pengekspresiannya) dan besar isinya. Begitu juga, bila sajak ini
dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, ternyata bahwa sajak
ini asli karena belum pernah ada, jadi, bukan jiplakan, banyak mengandung daya
cipta karena cara pengungkapan pikiran (pengalaman jiwa) itu asli, berwatak
sendiri, dan dapat memberikan dunia khusus, yaitu berupa dunia penyair, berkat
daya imajinasinya untuk menyatukan tanggapan-tanggapan. Daya kreativitas ini
sudah ternyata bila ditinjau kembali bagaimana ia menyatukan
tanggapan-tanggapannya dan cara pengungkapannya yang mengharukan.
Sajak berikut diambil dari kumpulan Dalam Sajak:
MIMPINYA
I.
Pada segala surat menanti nama
Pada segala surat dinanti nama
II.
Pada segala air terpasang layar
Pada segala air terkulai layar
III.
Pada segala mata menanti cahaya
Pada segala mata dinanti cahaya
Dalam sajak ini penyair bermaksud memancarkan
ide mimpinya. Dalam sajak “Mimpinya”
ini tidak dapat diketahui apakah “mimpinya” itu. Disini yang dapat ditangkap
hanya tingkat pengalaman jiwa yang anorganis, yaitu berupa baris-baris sajak
pararel dan paradoksal itu saja, sedangkan suasana mimpinya dan pengalaman
lainnya tidak tertangkap disebabkan kegelapannya.
Sajak berikut diambil dari kumpulan Dalam Sajak:
SENJA DI
DESA
Buat bakri + banda
Senja di desa-desa
Antara kampung-kampung
Dan matahari dijunjung
Gadis-gadis remaja:
Periuk bundar-bundar
Tanah liat terbakar
Tempaat tukang tua
Matahari senja
Antara sumber air
Dan gerbang perkampungan
Terlena jalan pasir
Pulang dari pancuran...
Gadis-gadis remaja:
Bulan dikepalanya
Sajak ini merupakan lukisan senja di desa
ketika para gadis ke sumber mengambil air dengan periuk bundar, matahari di
atas kepalanya dan ketika pulang bulan sudah kelihatan di atas kepalanya.
Dalam sajak ini penyair berhasil melukiskan
suasana desa yang idillis (sederhana ), tenang. Suasana yang tenteram ini dapat
menentramkan hati. Kepuitisansajak ini terletak dalm kepadatannya, ia hanya
melukiskan yang paling penting dari apa yang dilihatnya hingga dapat memberikan
suasana yang dimaksud dan memberikan kejelasan tanggapan.
Dengan demikian, sajak ini hanya sampai pada pengalaman jiwa
ingatan vegetatif, baru sampai
membangkitkan suasana ketentraman, ketenangan senja didesa.
Sajak Sitor Situmorang:
LA RONDE
II
Adakah yang lebih indah
Dari biri padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap di bayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pantatnya, penuh saran
Lalu paha, pualan pahtan
Mendukung lengkung perut
Berkisar ke pusat, lalu surut
Agak kebawah, ke pusar segala
Hitam pekat, siap menerima
Dugaan indah
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
Kematangan mimpi lelaki
III
Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!
Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas
Kuserahkan pada binatang malam hari
Nafsumu, semakin buas dan menjadi
Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu
Adakah lebih peurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?
Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.
Melihat gaya sajak dan ungkapan-ungkapan yang
jelas transparan itu, tentulah orang mudah mengatakan bahwa sajak ini memenuhi
tingkatan jiwa anorganis. Ungkapan-ungkapan yang jelas, konkret itu dapat
memberikan suasana “romantis-erotis”, tentulah sajak ini sudah meliputi
pengalamantingkat vegetatif. Melihat lukisan-lukisan yang merangsang nafsu
jasmaniah dan darah itu, dengan mudah dikatakan bahwa sajak ini mencapai
tingkat pengalaman jiwa niveau animal.
Sajak ini cenderung dikatakan pornografis, yang
pada hakikatnya artinya sama dengan cabul, atau lebih sopanlagi kalau dikatakan
sajak ini mencapai pengalaman jiwa”niveau animal”.
Renungan dalam sajak ini hanya sampai kepada
tingkat animal. Adakah yang lebih indah dari bibir padat merekah? / Adakah yang
lebih manis dari gelap di bayang alis? Setidak-tidaknya seorang yang
hidupnyawadat (selibat) dan seorang moralis yang saleh, tentu akan menjawab
bahwa “bibir padat merekah” dan “alis hitam” bukan satu-satunya keindahan dan
kemanisan.
Tolong hargai karya penulis. jika ingin copas, harap sedikit di rombak lagi dan ijin dulu pastinya. Semoga bermanfaat.
Thanks for reading & sharing adskproject
0 komentar:
Post a Comment