Home » » Kritik Sastra

Kritik Sastra

Posted by adskproject on Monday 28 March 2016

Halo bro sist yang lagi nyari tugas, nih saya bagikan tugas orang juga mengenai kritik sastra. menganalisis sebuah karya. Ini tugas nya Shafiyyah Khaerunnisa mahasiswi cantik dari Universitas Muhamadiyah. tadinya mau saya bikin dalam bentuk pdf, tapi berhubung males, jadi saya copas aja. oke, langsung aja simak.

 Nama              : Shafiyyah Khairunnisa

Kelas               : 7B
Prodi               : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

BAB III
PENILAIAN KARYA SASTRA
            Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan bernilai seni atau tindaknya. Dalam kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai. Karya sastra adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya seni lainnya: seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya, di dalamnya sudah mengandung penilaianurn: seni.
            Menurut pendapat Rene Wellek bahwa, kita tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjuk kepada nilai, karena kalau kita menyatakan suatu struktur sebagai katya seni, kita sudah memakai timbangan penilaian. Jadi, bila kita mengkritk karya sastra tanpa penilaian, maka karya sastra yang kita kritik itu tetap tidak dapat kita pahami baik-buruknya, atau berhasil tidaknya sastrawan mengungkapkan pengalaman jiwanya.
Aoh Kartahadimadja mengemukakan bagaimana H.B. Jassin menyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka syarat pertama yang diletakkannya ialah kepada keindahan dan barulah pada moral. Baik keindahan atau moral itu sebyektif.

“Sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi sipendengar atau sipeninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian ini didapatnya, maka lebih senanglah ia”.

Bagaimana baik-buruknya sajak, di sini Aoh menggunakan perasaan intuitif saja hingga di sini tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya sastra.
Kesustraan menurut Gazali, B.A :
“Sastra (castra) dari bahasa Sanskerta yang artinya tulisan atau nahasa yang indah: yakni hasil ciptaan bahasa yang indah, indah dalam pengertian yang telah kami uraikan di atas. Jadi kesustraan ialah pengetahuan mengenai hasil sei bahasa, perujukan getaran jiwa dalam bentuk tulisan.”

Kesustraan menurut Simorangkir-Simanjuntak:
                        Demikian kata kesustraan terdiri dari: susastra = artinya huruf atau buku.
Kesustraan = kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya.
a.      Kepandaian seni yang dipergunkan orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah, dan permai dengan bahasa sebagai alatnya.
b.      Semua pelajaran mengenai kesustraan.
c.       Jumlah karangan, buah tangan, dan buku yang baik serta berguna untuk kesustraan.

Kesustraan menurut Zuber Usman, B.A:
Hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesustraan atau seni sastra. Kesustraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian dari nebudayaan.
Kesustraan pokok katanya sastra (castra. Skt) = tulisan atau bahas; su (Skt): indah, bagus ... susastra = bahasa yang indah, maksudnya hasil ciptaan bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesustraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an). Yang dimaksud dengan kesustraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dengan tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat.”

Kesustraan menurut Suparlan D.S :
“Kesustraan atau kesenia bahasa atau seni sastra adalah ‘kesenian’ suatu bangsa dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya. Kesenian ialah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam kebudayaan dan berjiwa kecantikan.”

Kesustraan menurut H.F Sitompul:
“Kata kesustraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya, segala yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindahan kata-kata dan susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis, itulah kesustraan. Tetapi tidak pula semuanya. Yang isinya merupakan ilmu pengetahuan tidak termasuk kesustraan. Warta berita dan yang serupa dengan itu pun tidak terhitung hasil seni bahasa (kesustraan). Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian bahasa harus berkesan keindahan bagi si pembaca atau si pendengar.”

Dapat ditarik kesimpulan bahwa baik Ghazali. B. A, B. Simorangkir, Zuber Usman, Suparlan D. S, maupun H.F. Sitompul mengakui bahwa kesusastraan itu karya seni yang ditulis dengan bahasa yang indah. Hanya bagaimana wujud karya sastra itu, atau bagaimana corak karya sastra itu kurang dapat ditunjukkan mereka.

Kesustraan menurut Rene wellek:
1.      Seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak
2.      Seni sastra terbatas pada buku-buku yang “terkenal”, dari sudut isi dan bentuknya
3.      Lebih baik jika istilah “kesusastraan” dibatasi pada seni sastera yang bersifat imaginatif

Sifat-sifat tersebut mempengaruhi juga penggunaan bahasa dalam penciptaan sastra. Bahasa sebagai alat untuk menjilmakan tangan, hayal, dunia angan sastrawan hingga menyebabkan adanya kekhususan dalam pemakaian bahasa dalam seni sastra.
Rene wellek berpendapat “sebaiknya kita berpandangan bahwa karya sastra ialah karya-karya yang fungsi estetiknya dominan.”

Dengan konsep-konsep tersebut, yaitu sifat imaginatif adalah hakikat karya sastra, sifat konotatitif pada bahasa sastra, unsur estetik yang dominan pada karya sastra, maka dapat dimasukkan segala karya yang bersifat lirik, epik dan dramatik kedalam lingkungan karya sastra, dari yang terbaik hingga yang terburuk sekalipun. Karya sastra yang “imaginatif” dan “yang seni”. Dalam arti karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreatifitas) dan keahlian cipta, disamping itu yang bersifat “seni”.

Pendapat Herbert Read:
“.....karena seni tidak perlu indah: hingga tidak dapat dikatakan begitu diributkan. Apakah kita melihat persoalan itu menurut sejarah (dengan anggapan bahwa karya sastra telah ada pada zaman-zaman lampau) maupun secara kemasyarakatan (dengan anggapan apakah seni nyata-nyata ada dalam pernyataan-pernyataan sekarang ini di seluruh dunia) kamidapati bahwa seni sering tidak punya (keindahan) atau bukan barang yang indah.”

Secara klasikal orang dapat mengatakan: kesusastraan adalah suatu keseluruhan cipta manusia baik dalam prosa maupun puisi untuk mengucapkan suatu keindahan, tetapi bila orang telah meninggalkan bangku sekolah, ia akan ragu dengan pengertian-pengertian tentang keindahan yang telah diterimanya diwaktu yang lalu.

Pendapat N.G. Tjernisevski, pemikir filsyuf Rusia:
“Sebuah karya snei memanglah akan indah apabila senimannya telah membawakan dalam karyanya segala yang dimaksudkan untuk dibawa ke dalam karyanya. Sudah tentu sebuah potret bagus adanya hanya jika senimannya telah berhasil untuk “melukiskan secara seksama semua ciri-ciri yang hendak dilukiskannya.” Namun untuk “melukiskan seuatu paras dengan indah” dan untuk “melukiskan sesuatu paras yang indah” adalah dua hal yang sama sekali berlainan.”

Keindahan kesusastraan menurut Thomas Aquino yang dikutip oleh Slametmuljana:
“Untuk keindahan ada tiga syarat: 1) keutuhan atau kesempurnaan; karena segala kekurangan mengakibatkan keburukan. 2) keselarasan bentuk atau keseimbangan. 3) sekali lagi sinar kejelasan, oleh karena itu, apapun yang terpancar, sinar kejelasan, boleh disebut indah.” (dari Suma Theologie).

Slametmuljana menyimpulkan: Pada tiap barang yang kita anggap indah terdapat tiga macam ciri: 1) keutuhan 2)keselarasan bentuk 3) kejelasan atau sifat gilang cerlang.

Keindahan kesusastraan menurut Mundingsari:
“ dan bahkan akhirnya, terutama sejak awal abad ke-20, ad sebuah aliran yang mencoba membatalkan arti keindahan sama sekali dengan jalan menolak keindahan model klasik, (keats : keindahan adalah kebahagian abadi= a thing of beauty is a joy 4ever; Oscar Wild: seni adalh hidup= art is nothing but live) dn dengan jalan mengatakan bahwa keindahan tidak ada kecuali keterusterangan dan kenyataan dalam kesusastraan.

Indah atau keindahan itu hanya salah satu aspek saja dari sifat seni, arti indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam pengertian seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifat “seni” juga karena dapat berhasil diungkapkan dengan indah. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung kata indah dan agung, besar atau sublim.
Karya sastra bernilai seni bila dalamnya terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan daya cipta dan keaslian cipta, maka kian tinggi nilai seninya.

Pendapat Rene Wellek:
“Bahwa fungsi seni sastra pada dasarnya tetap sepanjang zaman setelah menyelidiki sejarah estetika dan poetika. Rene Wellek mengutip pendapat Horace bahwa seni itu sifatnya dulce et utile; dan berkesimpulan. “sejarah estetika dapat diringkaskan sebagai suatu dialektika yang tesisnya dulce et utile, artinya bahwa puisi iu menyenangkan dan berguna. Kedua sifat itu apabila berdiri sendiri merupakan pust salah paham pengertian fungsi puisi”.

Pendapat Richards:
“Pertentangan sepanjang zaman seperti apakah urusan (kegunaan)puisi adalah untuk kesenangan atau untuk mendidik tampak dengan jelasnya dalam hal (yang berikut) ini. ‘Penyair-penyair ingin memberikan didikan atau menyenangkan atau menggabungkan keduanya’. Kata Horace dengan hati-hati. ‘menghubungkan yang kuat (tetap) dan berguna dengan yang menyenangkan.’ ‘Hanyalah tujuan untuk menjadi kegunaan’. Begitulah pikiran Boileaue dan rapin. Dreyden, halus dan menyentuh hati dalam caranya, adalah ‘memuaskan bila ia (puisi) menyenangkan karena kesenangan adalah terutama, tetapi bukan satu-satunya, tujuan puisi: memberi didikan dapat diterima (disetujui) tetapi ditempat yang nomer dua: karena puisi hanya memberi didikan bila menyenangkan.”

Itulah hakikat fungsi karya satra menyenagkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua sifat itu adanya bersama-sama (simultan) dan tidak dapat dipisahkan karena meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal-hal yang remeh, tak ada artinya, maka tidak ada gunanya atau kegunaannya sedikit.

Seni (sastra) itu menyenangkan dan berguna karena hakikatnya sendiri, seperti gula rasanya manis itu sifat hakikatnya sendiri. Seni sastra itu menyenangkan karena bersifat seimbang (harmonis), berirama, kata-katanya menarik hati, mengharukan, mengandung ketegangan, dan sebagainya.

Dalam menilai karya sastra berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kriteria hakikatnya itu, sedang fungsi-fungsi lainnya diluar hakikatnya itu jatuh nomer dua bila masih menghendaki penilaian karya sastra sebagai karya seni. Artinya, karya sastra yang menganut paham apapun, pertama-tama harus memenuhi fungsi hakikat seni sastra : menyenangkan dan berguna.

Pada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian yang penting:
1.      Penilaian relatifisme ialah paham penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian lagi”, atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan jaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya sastra dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan pada jaman tertentu, maka karya sastra itu haruslah dianggap bernilai pua pada jaman dan tempat lain. Jadi, ini sudah tidak menghendaki penilaian lagi.
2.      Penilaian absolut ialah menilai karya sastra berdasarkan paham-paham, aliran-aliran, politik, moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit hingga dengan demikian sifat penilaiannya tdak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan hakikat seni sendiri.
3.      Penilaian perspektif ialah menilai karya sastra dari berbagai perspektif dari berbagai-bagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa-masa berikutnya.

Jadi, menilai karya sastra secara perspektifisme itu ialah menilai menurut penilaian waktu terbitnya karya sastra itu, menurut penilaian jaman-jaman yang telah dilalui, juga menurut penilaian jaman sekarang.

Pengertian norma menurut Rene wellek:
“Istilah ‘norma’ di sini jangan dikacaukan dengan norma-norma klasik atau romantik, etika atau politik. Norma-norma itu harus kita pahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individukarya sastra bersama-sama merupakan karya sastra yang murni itu sebagai keseluruhan”
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis (strata) norma. Masing-masing norma itu menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisi Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis lapis-lapis norma itu:
1.      Lapis suara (sound stratum) dasar timbulnya
2.      Lapis arti (units of meaning)
Masing-masing kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari struktur sintaksis ini timbul
3.      Lapis obyek yang dikemukakan, “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting)
4.      Lapis dunia yang diliha dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied)
5.      Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan cusi. Lapis ini tak selalu terdapat pada karya sastra.
Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjilmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya dengan medium bahasa
Dalil-dalil seni sastra:
1.      Puisi mempunyai nilai seni bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata.
Tambahan lagi nilai seni itu bertambah tinggi bila pengalaman itu tidak lengkap.
2.      Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin banyak meliputi keutuhan jiwa.
3.      Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin kuat.
4.      Pengalaman itu makin tinggi nilainya bila isi pengalaman itu makin banyak (makin luas dan makin perinciannya)
Menilai karya sastra harus berdasarkan pada hakikat sastra sendiri, yaitu harus bersifat seni: artinya karya sastra harus indah, sublim, dan besar atau agung. Maka dalil pertama J. Eleme itu memenuhi kriteria estetik, sedang dalil kedua, ketiga, dan keempat memenuhi kriteria kebesaran atau keagungan atau bersifat kriteria ekstra-estetik. Dalam menilai karya sastra kedua kriteria itu harus dikenakan, berjalinan erat, tak dapat dipisah-pisahkan.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan.
1.      Niveau anargonis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera.
2.      Niveau vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daun, dan sebagainya.
3.      Niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai oleh binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah.
4.      Niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa gotong royong, saling bantu-membantu dan sebagainya.
5.      Neveau religius atau filosofis, yaitu tingkatan jiwa yang tertinggi, tingkatan ini tidak dialami oleh manusia sehari-hari, hanya dialami bila sembahyang, dzikir, berdoa, juga pada waktu merenungkan hakikat dunia, kehidupan, dan sebagainya.
Dalam suatu karya sastra haruslah kelima tingkatan ini terdapat di dalamnya, kalau tidak, karya sastra itu kurang atau tidak bernilai seni. Bila karya sastra hanya sampai pada tingkatan pertama, kedua, atau ketiga saja, maka hanya akan memancarkan nafsu-nafsujasmaniah. Maka harus disublimir dengan tingkatan diatasnya yaituyaitu tingkatan human atau religius hingga memberi gambaran suatu dunia peradaban yang tinggi, sedangkan bila hanya mencapai tingkatan animal itu, hanya merangsang nafsu dan keinraan saja, seperti karangan-karangan cabul atau pornografis itu hanya mencapai tingkatan ini.


Kesimpulannya, suatu karya sastra yang kian banyak memancarkan tingkatan pengalaman jiwa dan merupakan keutuhan akan tinggi nilainya, ditambah lagi bila pengalaman itu makin lengkap, karya sastra jadi semakin hidup, besar dan agung, jadi kian tinggi mutunya.

Karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas. Dalam definisi sastra telah disebutkan bahwa karya sastra itu karya yang bersifat imaginatif, yaitu bahwa karya sastra itu terjadi akibat penganganan dan hasil penganganan itu adalah penemuan-penemuan baru, kemudian penemuan baru itu disusun ke dalam suatu sistem dengan kekuatan imaginasi hingga terciptalah suatu dunia baru yang sebelumnya belum ada.




Bab IV
Analisis Karya Sastra Dan Penerapan Nilai

Sajak Sitor Sutumorang dari surat kertas hijau:
Cathedrale De Chartres

Akan bicarakah Ia dimalam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih?
Sekali-sekali ingin berserah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih

Ah, Tuhan, tak bisa lagi kita bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari pada kiamat

Menangis ia terseduh di hari Paskah
Ketika kamu ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Keristus telah disalib manusia habis kata

Maka malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk chartres meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan dihujan gerimis

Pada ibu, isteri, anak, serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu

Demikianlah kisah cinta kami
Yang bermula dipekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dameame de Paris
Dimusim bungan dan mata remang

Demikianlah kisah hari Paskah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia

Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan

Demikianlah
Ceritera Paskah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Dibumi Perancis
Dibumi manis
Ketika Kristus disalibkan


Menurut analisis Roman Ingarden. Pertama lapis bunyi, terutama disini bunyi-bunyi yang mengandung ekspresi kuat, yang adanya memang disengaja oleh penyair untuk mengekspresikan pengalaman jiwanya.

Kedua, Lapis arti, disni Isa lambang kesucian, kejujuran, kebaikan, dan juga kesetiaan. Maksudnya “bicara” disini, seolah-olah Isa berbicara dalam hati si aku untuk mengingatkannya kepada kesucian, kejujuran, dan kesetiaan.

Bait kedua, ini kubawa cinta dimata kekasih kelu: aku (penyair) jatuh cinta atau mencintai (membawa cinta) kepada kekasih yang sedih. “membawa cinta” disini mengonkretkan, seolah-olah cinta itu dapat dipegang dan dapat dilihat.

Bait ketiga, yaitu pencampuran imaji dua inderaan yang berbeda: bunyi dan warna. Di warna kaca basah: dalam warna kaca basah, seperti warna kaca basah, yaitu remang-remang, suram, menandakan sedang terlibat dalam kesedihan.

Bait keempat, manusia habis kata: manusia kebingungan, tak dapat berkata lagi, artinya tidak dapat membedakan baik buruk karena tanpa bimbingan karena kristus telah di salib. Tersedu ia dalam daunan malam rontok: seolah-olah suara sedunya itu seperti daun-daun yang gugur pada waktu malam disertai hujan dan angin. Mengembara ingatan: si aku teringat dengan (isteri dan anaknya).

Baik kelima, hati tersibak antara zinah dan setia: hati jadi dapat membedakan antara penghianatan zinah dengan cinta (kesetiaan). Hidup dan kiamat bersatu padu: tiada berpisah hidup dari kiamat. Perasaan ini timbul karena penyair sadar akan perbuatan dosanya.

Bait keenam, kisah cinta kami: kisah percintaan antara si aku dengan kasihnya. Di pekan kembang: ditempat wanita-wanita P (wanita malam) menjajakan dirinya, ungkapan ini untuk memperhalus (sublimasi) realitas yang kasar menjadi halus dan sopan, supaya sesuai dengan suasana khusuk berdoa (sembahyang).

Bait ketujuh, hari Paskah: hari ketika Kristus disalib, artinya pada hari turunnya dosa orang tidak tahu kebenaran, kejahatanlah yang menang. Diburu resah: di kejar-kejar kegelisahan, ungkapan ini untuk mengonkretkan dan menghidupkan gambaran mendramatisir betapa gelisah hati manusia.

Bait kedelapan, terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan: Suasana khusuk, suci karena nyanyia gereja: ketika ia bersembahyang merasakan suasana yang suci, perasaan itu terbawa, terasa sampai waktu ia tidur di penginapan, menyebabkan bahwa ia merasa: bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan.

Bait kesembilan, bait ini merupakan ulangan kisah percintaan dan segala peristiwa pertentangan batin si aku yang terjadi pada hari paskah ketika hujan salju dan dengan penuh kesedihan, kegelisahan, pada waktu bunga-bunga merekah (waktu gadisgadis dan wanita-wanita P keluar malam saling berlomba kecantikan).

Lapis ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dalam dunia pengarang itu kelihatan pelakunya adalah si aku dengan kekasihnya, latar terjadinya peristiwa pada waktu malam dan digereja. Objek-objek yang dikemukakan adalah gereja, salju, burung-burung putih, daunan, hujan gerimis, kokok ayam, pasar kembang, bunga-bunga merekah, ranjang.

Lapis keempat, yaitu “dunia” yang dipandang dari sudut pandang tertentu yang implisite adalah sebagai berikut. Dipandang dari objek-objek yang dikemukakan, dapat dimengerti bahwa dunia yang dikemukakan adalah dunia kristen. Objek-objek dan latar tersebut seperti Cathedrale De Chartres, Isa, sembahyang, Tuhan, gereja, hari paskah, notre dame de Paris. Ceritanya terjadi di Paris. Pelakunya seorang krissten, dismping itu, ia adalah penganut faham atau filsafat eksistensialisme.

Lapis kelima, dalam sajak ini, atau cerita yang tersebut dalam lapisan norma ketiga, penyair mengemukakan persoalan yang ingin “membuka kedok kekacauan” batinnya lewat sajak-sajaknya.

Disini teranglah bahwa bahwa sajak itu memenuhi tingkat pengalaman jiwa yang pertama, tingkat anorganis, yang harus ada dalam sajak untuk memberikan gambarab konkret atau untuk memberi bentuk dan wujud kepada pengalaman-pengalaman jiwa yang lain yang hendak dibeberkan itu. Dengan terpancarnya pengalaman jiwa tingkat pertama itu, maka sajak dapat menunjukkan sebagian nilai seninya. Maka, dari sudut ini saja sajak ini sudah menjadi puitis dan bernilai seni.

Pengalaman jiwa tingkat kedua, niveau vegetatif, yaitu suasana sajak (mood)yang memberikan keharuan kepada sajak itu.

Tingkat pengalaman jiwa yang ketiga, niveau animal, ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan inderaan yang konkret, nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam sajak yang dibicarakan ini, terpancar dalam kata-kata ungkapan-ungkapan yang dapat menimbulkan tanggapan penginderaan yang jelas dan rangsangan kepada perasaan naluri jasmaniah,

Tingkat keempat, niveau human  yang lebih tinggi, dalam sajak ini tampak dalam kesadaran si aku bahwa ia sadar telah mengkhianati isteri dan anak-anaknya, serta merasa berdosa atas perbuatannya itu. Kesadaran ini menyebabkan ia merasa hidup dalam kiamat.

Tingkat pengalaman jiwa yang tertinggi, niveau religius, filosofis, atau metafisik.
Judul Cathedrale de Chartres, ini sudah memberi persediaan untuk renungan yang bersifat ketuhanan. Juga, Ia yang berarti Isa, membawa pembaca kepada renungan suasana keagamaan. Begitujuga kata-kata: Tuahn, doa, umat, kiamat, hari paskah, gereja, salib, Notre Dame de Paris, dan sebahyang,. Segala kata itu memberikan pengalaman ketuhanan, keagamaan, dan memberikan renungan kepada hakikat yang tertinggi.
Sajak Cathedrale de Chatres ini dapat memenuhi kriteria yang diajukan oleh J. Elema, yang berupa dalil-dalilseni sastranya itu. Dengan demikian, sajak ini mempunyai nilai seni yang tinggi.

Bila nilai seni ini dinyatakan dengan definisi Benedetto Croce: sajak ini mengandung nilai keindahan karena cara pembeberannya berhasil baik sebagai sifat seni yang pokok.
Bila dinyatakan dengan pengertian keindahan menurut Slametmuljana, sajak ini indah karena cara pembeberannya berhasil baik sehingga pembaca dapat turut mengalami segala pengalaman jiwanya, kesedihannya, kegelisahannya, dan segala keharuannya dalam menghadapi soal-soal yang dibeberkan.

Kalau dinyatakan dengan kriteria estetik sajak ini bernilai estetik, disamping itu mengandung kebesaran karena dapat menampilkan pengalaman jiwa yang besar, yang dapat dijilmakan kedalam sajak secara estetik.

Jadi sajak Cathedrale de Chartres ini memenuhi nilai keaslian, banyak mengandung daya kreatif, menunjukkan daya cipta yang besar. Hendaknya kita ingat bahwa arti keaslian adalah bukan menjiplak; kedua karya sastra ini mengandungdaya cipta karena kebatruannya, belum pernah ada sebelumnya.
Sajak W.S. Rendra:

DOA SEORANG SERDADU SEBELUM PERANG
Tuhan ku
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
Dan firman mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebarkan di bumi subur ini
Tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
Sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhan ku
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafsuku
adalah satu udara

Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
biarpun bersama penyesalan

Apa yang bisa diucapkan
Oleh bibirku yang terjajah,
Sementara kulihat kedua tangan Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati Mu
Tuhan ku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Dalam sajak ini tingkat anorganis sudah dapat dicapai. Seperti, ada pembagian baris sajak dan bait yang sesuai dengan pembagian isi pikiran, enjambement (perloncatan bait sajak), dan pola persajakan. Disamping itu, ungkapan-ungkapan yang puitis disebabkan keplastisan dan sugestif.

Tingakt kedua niveau vegetatif, juga dapat tercapai oleh sajak ini. Disini adalah suasana ketuhanan, pertemuan antara seorang manusia dengan Tuhan, pada waktu berdoa. Disini ada pertentangan batin yag hebat; ia menyadari bahwa membunuh itu berdosa, tetapi tidak ada pilihan lain, kalau ia tidak membunuh tentu terbunuh.
Tingkat ketiga, niveau animal, di sini berisi pengonkretan, tanggapan penginderaan seperti telah diterangkan di atas, seperti misalnya personifikasi (anthropomorf) untuk Tuhan: wajah-Mu, kedua lengan-Mu. Sinaesthesia: warna dosa. Begitu juga ungkapan : malam dan wajahku satu warna.pengonkretan penginderaan: kota terbakar, kuburan yang dangkal, benih, bumi subur, menusukkan sangkurku dan bibirku yang terjajah.

Pengalaman jiwa tingkat keempat, niveau huma. Disini penyair melihat atau menyadari kesadaran moral baik-buruk, rasa belas kasihan, rasa simpati hingga menimbulkan pertentangan batin yang hebat. Penyair mengutuk kejahatan perang mengalami kekejaman perang yang menimbulkan kehancuran peradaban dan kemanusiaan, menyebabkan kota terbakar, kuburan yang dangkal terserak di mana-mana, anak-anak menangis kehilangan ayahnya, isteri-isteri kehilangan suaminya, tanah-tanah kosong tak ada yang menggarap, bumi yang subur terbengkalai.

Tingkat religus/Filosofis
Doa... kata ini sudah membawa kita kepada renungan keagamaan, ketuhanan. Juga, sajak itu sendiri berupa doa kepada Tuhan, berupa pertemuan antara manusia dengan Tuhan. Renungan sampai kepada hakikat bahwa manusia dan alam ini berada di bawah kekuasaan Tuahn, begitu juga hidup dan mati manusia. Maka, siapa yang melanggar firman Tuhan itu berdosa.

Dengan demikian, sajak “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang” ini dapat memenuhi kriteri puisi yang bernilai seni, indah beberannya (pengekspresiannya) dan besar isinya. Begitu juga, bila sajak ini dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, ternyata bahwa sajak ini asli karena belum pernah ada, jadi, bukan jiplakan, banyak mengandung daya cipta karena cara pengungkapan pikiran (pengalaman jiwa) itu asli, berwatak sendiri, dan dapat memberikan dunia khusus, yaitu berupa dunia penyair, berkat daya imajinasinya untuk menyatukan tanggapan-tanggapan. Daya kreativitas ini sudah ternyata bila ditinjau kembali bagaimana ia menyatukan tanggapan-tanggapannya dan cara pengungkapannya yang mengharukan.


Sajak berikut diambil dari kumpulan Dalam Sajak:


  MIMPINYA
I.                   Pada segala surat menanti nama
Pada segala surat dinanti nama

II.                Pada segala air terpasang layar
Pada segala air terkulai layar

III.             Pada segala mata menanti cahaya
Pada segala mata dinanti cahaya

Dalam sajak ini penyair bermaksud memancarkan ide mimpinya. Dalam sajak “Mimpinya” ini tidak dapat diketahui apakah “mimpinya” itu. Disini yang dapat ditangkap hanya tingkat pengalaman jiwa yang anorganis, yaitu berupa baris-baris sajak pararel dan paradoksal itu saja, sedangkan suasana mimpinya dan pengalaman lainnya tidak tertangkap disebabkan kegelapannya.

Sajak berikut diambil dari kumpulan Dalam Sajak:

SENJA DI DESA
Buat bakri + banda
Senja di desa-desa
Antara kampung-kampung
Dan matahari dijunjung
Gadis-gadis remaja:
Periuk bundar-bundar
Tanah liat terbakar
Tempaat tukang tua
Matahari senja

Antara sumber air
Dan gerbang perkampungan
Terlena jalan pasir
Pulang dari pancuran...
Gadis-gadis remaja:
Bulan dikepalanya


Sajak ini merupakan lukisan senja di desa ketika para gadis ke sumber mengambil air dengan periuk bundar, matahari di atas kepalanya dan ketika pulang bulan sudah kelihatan di atas kepalanya.

Dalam sajak ini penyair berhasil melukiskan suasana desa yang idillis (sederhana ), tenang. Suasana yang tenteram ini dapat menentramkan hati. Kepuitisansajak ini terletak dalm kepadatannya, ia hanya melukiskan yang paling penting dari apa yang dilihatnya hingga dapat memberikan suasana yang dimaksud dan memberikan kejelasan tanggapan.
Dengan demikian, sajak ini hanya sampai pada pengalaman jiwa ingatan vegetatif, baru sampai membangkitkan suasana ketentraman, ketenangan senja didesa.









Sajak Sitor Situmorang:

LA RONDE

II

Adakah yang lebih indah
Dari biri padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap di bayang alis?

Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pantatnya, penuh saran

Lalu paha, pualan pahtan
Mendukung lengkung perut
Berkisar ke pusat, lalu surut
Agak kebawah, ke pusar segala

Hitam pekat, siap menerima
Dugaan indah
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
Kematangan mimpi lelaki

III

Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!

Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas
Kuserahkan pada binatang malam hari
Nafsumu, semakin buas dan menjadi

Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu
Adakah lebih peurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?

Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.

Melihat gaya sajak dan ungkapan-ungkapan yang jelas transparan itu, tentulah orang mudah mengatakan bahwa sajak ini memenuhi tingkatan jiwa anorganis. Ungkapan-ungkapan yang jelas, konkret itu dapat memberikan suasana “romantis-erotis”, tentulah sajak ini sudah meliputi pengalamantingkat vegetatif. Melihat lukisan-lukisan yang merangsang nafsu jasmaniah dan darah itu, dengan mudah dikatakan bahwa sajak ini mencapai tingkat pengalaman jiwa niveau animal.

Sajak ini cenderung dikatakan pornografis, yang pada hakikatnya artinya sama dengan cabul, atau lebih sopanlagi kalau dikatakan sajak ini mencapai pengalaman jiwa”niveau animal”.
Renungan dalam sajak ini hanya sampai kepada tingkat animal. Adakah yang lebih indah dari bibir padat merekah? / Adakah yang lebih manis dari gelap di bayang alis? Setidak-tidaknya seorang yang hidupnyawadat (selibat) dan seorang moralis yang saleh, tentu akan menjawab bahwa “bibir padat merekah” dan “alis hitam” bukan satu-satunya keindahan dan kemanisan.

Tolong hargai karya penulis. jika ingin copas, harap sedikit di rombak lagi dan ijin dulu pastinya. Semoga bermanfaat.

Thanks for reading & sharing adskproject

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment