Home » » FONOLOGI BAHASA INDONESIA

FONOLOGI BAHASA INDONESIA

Posted by adskproject on Tuesday, 13 September 2016

 Halo adik-adik dan kakak-kakak yang lagi nyari tugas, saya mau share tentang Fonologi Sastra nih...langsung aja yah baca dibawah ini. Selamat membaca.

FONOLOGI


Semester 2 (Mata kuliah PBSI)








Pengantar
Bahasa Indonesia ialah bahasa rasmi  Republik Indonesia. Pada saat ini, Bahasa Indonesia dipergunakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa rasmi, dan bahasa pertama yang digunakan, selain bahasa daerah seperti bahasa jawa atau bahasa sunda. Di Republik Indonesia, hanya rakyat Indonesia yang tidak pernah sekolah di sekolah dasar / elementary school yang biasanya tidak boleh berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dirasmikan pada tahun 1945 sewaktu Indonesia mencapai kemerdekaan daripada pihak Belanda. Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamik yang terus menyerap kata-kata daripada bahasa-bahasa asing. Berasal daripada rumpun yang sama, Bahasa Indonesia adalah sebuah loghat bahasa Melayu yang terpiawai, dan kedua-duanya cukup sama. Fonologi dan tatabahasa bahasa Indonesia cukuplah mudah, dan dasar-dasar penting untuk komunikasi asas dapat dipelajari hanya dalam tempoh masa beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar untuk pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia.

1.    Fonologi Dan Bidang Pembahasannya 

Bahwa bahasa adalah system bunyi ujar sudah disadari oleh para linguistik. Oleh Karena itu, objek utama kajian linguistic adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh Karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari angggapan-bahkan keyakinan-ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan kosentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkosentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata Dan kalimat, semantik pada persolan makna kata, Dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dari sini dapat kita pahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut panjang.
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonotik
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata Dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik, dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini diuraikan pada bab-bab berikutnya.

2. Kedudukan Fonologi Dalam Cabang-Cabang Linguistik

Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam diskripsi Dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistic yang lain, baik linguistic teoritis maupun terapan. Misalnya morfologi, sintaksis, simantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisisnya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang kosentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] Dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-an}, praktis “minta bantuan” hasil studi morfologi. Begitu juga, mengapa morfem prefix {m ə N-} ketika bergabung dengan morfem dasar {baca}, {daki}, {garap}, {jerit} menjadi [məmbaca]. [məndaki], [məηgarap’], dan [məηjərit], dan ketika bergabung dengan morfem dasar {pacu}, {tari}, {kuras}, {sayat} menjadi [məmacu], [mənari], [məηguras], [məňyayat]? Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervasiasi [tahu], [tau], [teras], dan [təras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika di ucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [bidī?], [bīdī?] tidak membedakan makna? hasil analisis fonologisnya yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksikografi yang berkontrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan suatu pengucapan yang khas dan variasi pengucapannya hanya bisa di deskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang alektologi, yang bermaksud memetahkan wilayah pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu yang sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakai bahasa, baik secara sosial maupun geografi, variasi-variasi uacapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.

3. Manfaat fonologi daalm penyusunan ejaan bahasa

Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambang bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaanpun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut. Perlambangan unsur segmental ini ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambing-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanana, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pugntuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fomologi terutama hasil kajian fonomik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pelambang fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejan donemis.
Terkait dengan pemberlakuan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan yaitu ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasarkan karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamian bahasa. Mengapa demikian?
- Kita tau bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahun setelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang dan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan melambangkan bunyi bahasa bukan sebaliknya. Jadi, tidak ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen) harus mengikuti tunduk pada ejaan. (bahasa tulis, pen)

- Bahasa manapun selalu berubah termasuk mahasa Indonesia. Satu system ejaan sesuai dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena itu, ejaanlah yang harus disesuikan terus menerus seiring dengan perkembangan atau perubahan pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya.


Monoftong

Monoftong atau vokal murni (pure vowels) ialah bunyi vokal tunggal yang terbentuk dengan kualitas alat bicara (lidah) tidak berubah dari awal hingga akhir artikulasinya dalam sebuah suku kata (cf. Kridalaksana, 1982:109). Secara praktis monoftong atau vokal tunggal biasa hanya disebut dengan istilah vokal adalah voka tunggal, sedangkan diftong adalah vokal rangkap. Berikut akan diuraikan monoftong dalam bahasa Indonesia, beberapa bahsa nusantara (Angkola, Semende, Kendayan, Jawa), dan bahasa Inggris.

1. Vokal Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia Mempunyai sepuluh vokal (Soebardi, 1973:5-8). Dengan tumpuan klasifikasi vokal, maka dapatlah disebutkan secara lebih terperinci bahwa kesepuluh vokal atau monoftong itu adalah seperti terlihat dalam table 20 berikut :


Tabel 20
Vokal Bahasa Indonesia


No.

1
2
3
4
5

Vokal
Tinggi
Rendah
Lidah
Gerak Lidah bagian
Striktur
Bentuk Bibir
Contoh kata
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
[i]
[I]
[e]
[∑]
[a]
[∂]
[כּ]
[o]
[U]
[u]
Tinggi atas
Tinggi bawah
Madya atas
Madya bawah
Rendah bawah
Madya
Madya bawah
Madya atas
Tinggi bawah
Tingi atas
Depan
Depan
Depan
Depan
Depan
Tengah
Belakang
Belakang
Belakang
Belakang
Tertutup
Semi tertutup
Semi tertutup
Semi terbuka
Terbuka
Semi terbuka
Semi terbuka
Semi tertutup
Semi tertutup
Tertutup
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Ini, ibu, kita, cari, lari
Pinggir, kerikil,kelingking
ekor, eja, enak
nenek, leher, geleng, dendeng
ada, apa,pada
emas, elang, sela, iseng
otot, tokoh,dorong, roti
oto, toko, kado,perangko
ukur, urus, turun
udara, utara, bulan, paku




2. Vokal Bahasa Angkola

Bahasa Angkola mempunyai sebelas vokal (Marsono, 1958:23).  Kesebelas vokal atau monoftong itu seperti dalamtabel 22 berikut :
Tabel 22
Vokal Bahasa Angkola


No
Vokal
Tinggi rendahnya lidah
Gerak lidah bagian
Striktur
Bentuk bibir
Contoh kata
1
[i]
Tinggi atas
Depan
Tertutup
Tak bulat
Iya ‘dia’
2
[I]
Tinggi bawah
Depan
Semi tertutup
Tak bulat
Baris ‘baris’
3
[e]
Madya atas
Depan
Semi tertutup
Tak bulat
Ela ‘ambil’
4
[ε]
Madya bawah
Depan
Semi terbuka
Tak bulat
Elek ‘bujuk’
5
[a:]
(panjang)
Rendah atas
Depan
Terbuka
Tak bulat
Bagas ‘dalam’
6
[ a ]
Rendah bawah
Depan
Terbuka
Tak bulat
Abin ‘hidang’
7
[כּ]
Rendah atas
belakang
Semi terbuka
Bulat
Olo ‘ya’
8
[כּ:]
(panjang)
Madya bawah
belakang
Semi tertutup
Bulat
Torop ‘datar’
9
[o]
Madya atas
belakang
Semi tertutup
Bulat
Oban ‘bawa’
10
[U]
Tinggi bawah
belakang
Semi tertutup
Bulat
Umur ‘umur’
11
[u]
Tinggi atas
belakang
Terutup
Bulat
Uda ‘paman’


3. Vokal Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa ibu terutama bagi penduduk di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah vokal bahasa Jawa sama dengan jumlah vokal bahasa Indonesia, yaitu sepuluh. Contoh vokal atau monoftong itu dalam kata terdapat pada tabel 28 bawah ini :


No
Vokal
Tinggi rendahnya lidah
Gerak lidah bagian
striktur
Bentuk bibir
Contoh kata
1
[i]
Tinggi atas
depan
Tertutup
Tak bulat
Iki ‘ini’
2
[I]
Tinggi bawah
depan
Tertutup
Tak bulat
Kulit ‘kulit’
3
[e]
Madya atas
depan
Semi tertutup
Tak bulat
Eling ‘ingat’
4
[ε]
Madya bawah
depan
Semi terbuka
Tak bulat
Edi ‘elok’
5
[a]
Rendah bawah
depan
Terbuka
Tak bulat
Ora ‘tidak’
6
[ ∂]
Madya
tengah
Semi terbuka
Tak bulat
Edol ‘jual’
7
[כּ]
Madya bawah
belakang
Semi terbuka
Bulat
Amot ‘muat’
8
[o]
Madya atas
belakang
Semi tertutup
Bulat
Obah ‘gerak’
9
[U]
Tinggi bawah
belakang
Semi tertutup
Bulat
Bagus ‘tampan’
10
[u]
Tinggi atas
belakang
Tertutup
Bulat
Gulu ‘leher’



Diftong

Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam dua suku kata. Bunyi rangkap vokal disebut diftong. Ciri-ciri diftong ialah waktu diucapkan posisi lidah yang satu dengan yang lain saling berbeda (Jones, 1958:22). Perbedaan itu mencakup tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya (jarak lidah dengan langit-langit). Berdasarkan itu pula maka diftong kemudian diklasifikasikan. Klasifikasi diftong dengan contoh dalam bahasa Indonesia, beberapa bahasa nusantara, dan bahasa Inggris akan di uraikan dibawah. Contoh diftong dari bahasa nusantara, untuk bahasa angkola, dan kendanyan, berhubung dalam 2 bahasa ini tidak ada doftong walaupun bunyi-bunyi vokal kedua bahasa ini dipakai. Akan disajikan diftong dari bahasa Banjar Hulu dan Madura.

1.      Diftong naik (Rising Dipthongs)

Diftong naik adalah jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi dari pada yang pertama. Karena lidah semakin menaik, dengan demikian strikturnya semakin lama semakin tertutup, sehingga diftong ini disebut juga dengan diftong menutup. Berikut akan diuraikan diftong naik dalam bahasa Indonesia, Semende, Banjar Hulu, Madura, Jawa, dan bahasa Inggris.

a.       Diftong naik bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia memiliki tiga jenis diftong naik, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [aI]
misalnya dalam: pakai, lalai, pandai, nilai, tupai, sampai.
2.      Diftong naik-menutup-maju [oi]
misalnya dalam: amboi, sepoi-sepoi.
3.      Diftong naik-menutup-mundur [aU]
misalnya dalam: saudara, saudagar, lampau, surau, kacau.
Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik saja, sedangkan diftong turun tidak ada.

b.      Diftong naik bahasa Semende

Bahasa Semende memiliki empat jenis diftong naik, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [ai], misalnya dalam: bai’hewan bibit betina’, empai’baru’, petai’patai’.
2.      Diftong naik-menutup-maju [oi], mislanya dalam: baloi’seri’, apoi’sejenis penyakit’, keloi’tali rami’.
3.      Diftong naik-menutup-mundur [aU], misalnya dalam: pantau’panggil’, limau’jeruk’, parau’serak’.
4.      Diftong naik-menutup-maju [oU], misalnya dalam: sembau’sembur’, kapou’kapur’.
Selain diftong naik bahasa Semende mempunyai juga diftong turun.

c.       Diftong naik bahasa Banjar Hulu

Bahasa Banjar Hulu merupakan bahasa ibu bagi penduduk provinsi Kalimantan Selatan bagian Utara. Ada tiga jenis diftong naik dalam bahasa Banjar Hulu, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [ai], misalnya dalam: mamai’omel’, pakai’pakai’, kainah’nanti’, balanai’belanga’.
2.      Diftong naik-menutup-maju [ui], misalnya dalam: kuitan’orang tua’, bangkui’orang hutan’.
3.      Diftong naik-menutup-mundur [aU], misalnya dalam: sauda’tidak’, mamau’hilang’.
Dalam bahasa Banjar Hulu tidak terdapat diftong turun hanya iftong naik saja.

d.      Diftong naik bahasa Madura

Bahasa Madura memiliki tiga jenis diftong naik bhasa Madura, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [ai], misalnya dalam: songai’sungai’, anggai’orong-orong’.
2.      Diftong naik-menutup-maju [ui], misalnya dalam: kerbui’kerbau’, anggui’pakai’.
3.      Diftong naik-menutup-maju [oi], misalnya dalam: soroi’sisir’, aloi’basi (makanan)’.
Bahasa Madura hanya memilki diftong naik.

e.       Diftong naik bahasa Jawa

terdapat 1 diftong naik. Pada kata-kata afektif atau kata-kata yang bernilai kadar rasa dalam bahasa Jawa, yaitu diftong naik-menutup-maju [ui],  mislanya dalam kata: uijo’sangat hijau’, uireng’sngat hitam’.
Memiliki diftong turun.
2.      Diftong turun
a.       Diftong turun bahasa Semende
Terdapat diftong turun-membuka-mundur [IU], misalnya dalam: iu’ah’, empiu-empiu’puput batang padi’.
b.      Diftong turun bahasa Jawa
Terdapat empat jenis diftong turun, yaitu:
1.      Diftong turun-membuka-maju [ua], misalnya dalam : muarem’sangat puas’, uadoh’sangat jauh’.
2.      Diftong turun-membuka-maju [u∑], misalnya dalam: uelek’sangat jelek’, uenteng’sangat ringan’.
3.      Diftong turun-membuka-mundur [u(c terbalik)], misalnya dalam: luara’sangat sakit’, duaa’sangat panjang’.
Diftong turun-membuka-memusat [u∂mas], misalnya dalam: uempuk’sangat lunak’, luemu’sangat gemuk’.
Prof. Dr. Achmad HP

Diftong dan Monoftong

Berbeda dengan kluster yang merupakan gugus kontoid yang berfungsi sebagai onset / koda, diftorfy adalah gugus vokoid / vokoid rangkap, yang berfungsi sebagai puncak, artinya dua cokoid ini terdapat dalam satu silaba.
Ditinjau dari tingkat sonoritasnya, dalam ucapan, vokoid pertama lebih nyaring daripada vokoid kedua, seolah ada peluncuran bunyi dari vokoid pertama ke vokoid kedua. Dari segi silaba yang membedakannya antara Diftong dengan rangkaian vokoid adalah bahwa bila dua vokoid itu terdapat dua silaba berurutan, namun terpisah maka masing-masing vokoid adalah bunyi tunggal, atau monoftoy. Dalam hal vokid rangkap itu berjumlah 3 buah, disebut doftorfy.
Untuk membedakan antara diftong dan rangkaian vokoid, cermatilah contoh-contoh berikut :
1)      [ ai ]
§  Pakaian baru
§  Kain songket
2)      [ au ]
§  Harimau lapar
§  Hari mau hujan
Pada (1). [ai], pada “pakaian baru” secara fonetis persukuannya adalah [pa+kai+an], [ai] terdapat satu silaba, jadi berstatus sebagai diftory.
Terdapat pada (1). [ai] pada “kain songket”, [ai] terdapat dalam dua silaba, yang secara fonetis persukuannya adalah [ka+in], jadi [a] dan [i], merupakan rangkaian vokoid, atau masing-masing sebagai monoftong.
Beberapa diftong dalam bahasa Indonesia, misalnya dikenal beberapa diftong [au], [ai], [oi]. Dalam bahasa jawa misalnya dikenal beberapa diftory [ui] / [ue].
Diftong-diftong sering dibedakan atas diftong naik (rising diphthongs) dan diftong turun (tailing diphthongs). Pembedaan ini didasarkan pada tinggi rendahnya unsur-unsur yang membentuk diftong itu.
J.W.M. Verhaar
Diftong

Dalam pelafalan vocal rangkap 2 (diftong), maka setengah lamanya pelafalan vocal, bangun mulut diubah. Misalnya, [au] dalam kalau adalah sebuah diftong: pelafalannya mulai dengan bangun mulut rendah-depan, dan berakhir dengan bangun tinggi-belakang. Contoh lain: dalam kata balai, diftongnya [ai] mulai dengan bangun mulut rendah-depan, dan berakhir dengan bangun tinggi-depan. Perhatikanlah dengan seksama bahwa sebuah diftong tidak sama dengan 2 vokal tunggal berturut-turut;misalnya, meskipun [au] dalam kalau berupa diftong, [a]+[u] dalam baur merupakan deretan 2 vokal tunggal. Demikian pula, meskipun [ai] dalam balai berupa diftong, namun [a]+[i] dalam kata kait adalah 2 vokal tunggal.
Diftong dapat dibedakan diftong naik dan diftong turun. Diftong naik adalah diftong  yang perubahannya ‘ke atas’, diftong turun adalah yang perubahannya ‘ke bawah’. Diftong naik ditemukan dalam contoh-contoh tadi, kalau dan balai. Diftong turun tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Diftong Inggris[I tulisan eu sunda], seperti dalam kata ear, merupakan diftong turun.

Abdul Chaer
Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan tersebut menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Namun, yang dihasilkan bukanlah dua buah bunyi, melainkan hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel. Contoh diftong dalam bahasa Indonesia adalah [au] seperti terdapat pada kata kerbau dan harimau.Contoh lain bunyi [ai] seperti terdapat pada kata cukai dan landai. Apabila ada dua buah vokal yang berurutan, namun yang pertama letaknya pada suku kata yang berlainan dari yang kedua, maka disitu tidak ada diftong. Jadi, vokal [au] dan [ai] pada kata bau dan lain bukanlah diftong.
Diftong sering dibedakan berdasarkan letak atau posisi unsure-unsurnya, sehingga dibedakan adanya diftong naik dan diftong turun. Disebut diftong naik karema bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi kedua. Sebaliknya disebut diftong turun karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua. Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik. Sedangkan dalam bahasa Inggris terdapat keduanya.
FONETIK DAN FONEMIK


A. Pengertian Fonologi
            Di dalam penyelidikan, bunyi-bunyi bahasa itu banyak ragamnya. Karena itu bunyi-bunyi tersebut diklasifikasikan  ke dalam klasifikasi tertentu, ilmu yang mempelajari seluk beluk bunyi bahasa serta merumuskannya secara teratur dan sistematis tersebut dinamakan fonologi, (phone= bunyi; logos = ilmu). Sedangkan menurut Verhaar (1987:36) mengatakan bahwa fonologi adalah bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi dalam suatu bahasa tertentu yang menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal. Salah satu aspek di dalamnya adalah masalah distribusi fonem.

B. Manfaat Fonologi
            Penyelidikan bunyi-bunyi bahasa suatu bahasa mempunyai fungsi yang besar dalam hal menciptakan tanda-tanda/lambang-lambang yang menyatakan bunyi ujaran. Lambang-lambang bunyi ujaran itu disebut huruf, sedangkan aturan penulisan huruf itu disebut ejaan.
            Munculnya ejaan jelas merupakan usaha yang memiliki manfaat besar,terutama untuk menyimpan informasi. Kalau ejaan dapat diterapkan sesuai dengan bunyi ujaran, tentunya, informasi yang diabadikan lewat tulisan itu juga akan lebih komunikatif. Namun, harus disadari bahwa tidak pernah ada sistem tulisan yang sempurna.
            Dalam penggunaan secara praktis, bunyi-bunyi bahasa yang beragam itu akan sulit digambarkan. Andaikan dapat menghafalkannya (dalam usaha menggunakan bahasa tulis) bukanlah pekerjaan yang gampang, apalagi jika bunyi-bunyi itu mirip. Karena itu, hasil penyelidikan fonemiklah yang seharusnya dijadikan dasar pembentukan sistem tulisan. Dasar yang harus digunakan di sini adalah sebuah fonem dilambangkan dengan satu huruf/tanda/lambing/grafem. Sistem tulisan (ejaan) yang demikian ini disebut ejaan fonemis. Dengan kata lain, ejaan fonemis ini menganut sistem monograf.
            Di samping itu, fonem /ә/ dan /è/ yang terbukti sebagai fonem-fonem yang berbeda dilambangkan dengan huruf yang sama, yakni (è). Telah terbukti pula bahwa antara /?/ (apostrof) /bisat ( ‘ ) dengan /k/ terdapat perbedaan yang fungsional, tetapi kenyataannya keduanya dilambangkan dengan huruf yang berbeda, yakni (k) atau ( ‘ ) tetapi ada perbedaan dalam pengucapannya. Satu grafem/huruf yang melambangkan dua fonem yang berbeda ini dikenal dengan istilah diafon.

C. Tinjauan Fonemik

            Dalam kajian fonemik, istilah fonem juga dibicarakan. Bahwa fonem merupakan bunyi bahasa  terkecil yang dapat atau berfungsi membedakan arti. Telaah tentang fonem inilah yang dikatakan fonemik.
            Telaah bunyi bahasa yang dikaitkan dengan fungsinya sebagai pembeda arti ini baru berkembang pada permulaan abad ke duapuluh. Seorang Polandia, Kurszweski dianggap sebagai pelopornya. Namun, dia sendiri tidak mengembangkan idenya. Ide Kurszweski yang meletakkan  dasar-dasar fungsi sebuah bunyi bahasa, kemudian dikembangkan oleh Bandouin de Caurtanay, Daniel Jones, dan Edward Sapir. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam kongres linguistik di Den Hag (Belanda) tahun 1928, yang menyarankan agar setiap analisis bahasa harus membedakan bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi (fonem) dan bunyi-bunyi bahasa yang tak berfungsi (fona). Fonemik menggunakan materi yang diambil dari hasil penelitian fonetik. Namun, tidak seluruh materi fonetik menarik perhatian fonemik. Karena itulah fonemik mengadakan pemilihan materi, yaitu hanya bunyi-bunyi bahasa yang mampu membedakan arti serta variasi-variasinya yang muncul dalam ucapan.
            Karena bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara kita itu banyak ragamnya, bunyi-bunyi itu dikelompok-kelompokkan ke dalam unit-unit yang disebut fonem. Fonem inilah yang dijadikan  objek penelitian fonemik. Jadi, tidak seluruh bunyi bahasa yang bisa dihasilkan oleh alat bicara dipelajari oleh fonemik. Bunyi-bunyi bahasa yang fungsional yang menjadi kajian fonemik. Dalam hal ini L. Bloomfield (1964:78) menuliskan “the study of significant speech sound is phonology or practical phonetics”.
            Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, fonemik mengambil sikap  yang sesuai dengan harapan penelitian linguistik. Jika pembedaan bunyi bahasa (ucapan) hanya didasarkan pada sikap dan posisi alat bicara yang relatif banyak jumlahnya, tak akan mudah bunyi bahasa itu ditentukan jumlahnya secara pasti. Fonem /k/ pada kata “paku” dan /k/ pada kata “maki” tidak dihasilkan pada posisi artikulasi yang sama. Bunyi /k/ pada kata “paku” terpengaruh oleh vokal /u/ yang tergolong vokal belakang, sehingga /k/ tertarik ke belakang menjadi velar belakang, sedangkan vokal /i/ yang mempengaruhi /k/ pada kata “maki” tergolong vokal depan, yang mengakibatkan /k/ pada “maki” tertarik ke depan (disebut velar depan).

D. Objek Fonemik

            Karena bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara kita itu banyak ragamnya, bunyi – bunyi itu dikelompokkan ke dalan unit – unit yang disebut fonem. Fonem inilah yang dijadikan objek penelitian fonemik. Jadi tidak seluruh bunyi bahasa yang bisa dihasilkan oleh alat bicara oleh fonemik.
Misalnya perbedan antar bunyi / k / pada “cocok” (sesuai) dengan / k / pada kelomopk “bercocok tanam” bersifat fungsional sebab cocok yang pertama diucapkan dengan / k / velar, sedangkan cocok yang kedua diucapkan / k / hamzah dan cocok pada kedua kat tersebut berbeda arti. Kata yang pertama diucapkan / cocok / dan kedua / coco? /, contoh lain pada kata  [ laba] dan  [ raba ].
          
E. Tinjauan Fonetik

Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas: vokal, konsonan dan semi vokal (Cf. Jones, 1958:12). Perbedaan ini didasarkan pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara. Bunyi disebut vokal, bila terjadinya tidak ada hambatan pada alat bicara. Jadi tidak ada artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya ada pita suara saja. Hambatan yang hanya terjadi pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi (Verhaar, 1977:17). Karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara bergetar. Glotis dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat sekali. Dengan demikian semua vokal adalah bunyi bersuara.
Bunyi disebut konsonan, bila terjadinya dibentukdengan hambatan arus udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi. Proses hambatan atau artikulasi ini dapat disertai dengan bergetarnya pita suara. Jika hal ini terjadi maka yang terbentuk adalah bunyi konsonan bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai bergetarnya pita sua-ra, glotis dalam keadaan terbuka. Maka bunyi yang dihasilkan adalah konsonan tak bersuara.
Untuk lebih memudahkan pemberian klasifikatif vokal, Daniel Jones seorang ahli fonetik dari Inggris memperkenalkan sistem vokal kardinal (Cardinal Vowels). Vokal-vokal kardinal ialah bunyi-bunyi vokal yang mempunyai kualitas bunyi tertentu, keadaan lidah tertentu, dan bentuk bibir tertentu (Jones, 1958:18; cf. Lapolwa, 1981:24).
Vokal-vokal kardinal itu dalam abjad fonetik internasional (Internasional Phonetics Associations) urut dari 1 sampai 0. Parameter penentuan vokal-vokal rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, struktur, dan bentuk bibir.
Adapun klasifikasi konsonan tidak diperlukan prinsip-prinsip bagi kardinal karna secara fisiologis antara konsonan dengan yang lain lebih mudah dibedakan daripada vokal-vokal secara prak-tis biasanya konsonan dibedakan menurut:
1)     Cara dihambat.
2)     Tempat hambatan.
3)     Hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan antara artikulator aktif  dengan pasif (struktur).
4)     Bergetar tidaknya pita suara.
Fonem merupakan bunyi bahasa yang fungsional, sedangkan fona tidak. Ilmu yang mempelajari fona inilah dikenal dengan fonetik. Dengan kata lain bahwa fonetik merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana bunyi bahasa itu terbentuk berupa frekwensi getaran, intensitas, dan timbrenya, serta bagaimana bunyi bahasa tersebut dapat diterima oleh telinga (Yulianto, 1989:23).
Keraf (1979:29) menyatakan bahwa fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia banyak varia-sinya dan tak terbatas. Perubahan posisi alat ucap akan membawa perubahan bunyi yang dihasilkan, bahkan dari posisi yang samapun bisa pula dihasilkan bunyi yang berbeda jika bahasa kerjanya alat-alat yang lain berbeda (Yulianto, 1989:23).
Lebih lanjut dikatakan bahwa fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa (Verhaar, 2001:19). Ada dua segi dasar fisik tersebut, yaitu segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa, dan sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan.
Menurut dasar di atas, yang pertama fonetik disebut “fonetik organik” (karena menyangkut alat-alat bicara), atau “fonetik artikulatoris” (karena menyangkut pengartikulasian bunyi-bunyi bahasa). Menurut dasar yang kedua fonetik disebut “fonetik akustik”, karena menyangkut bunyi bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara. Sebagian besar fonetik akustik berdasarkan pada ilmu fisika (tentang bunyi) yang diterapkan kepada bunyi-bunyi bahasa.
            Fonetik (phonetics) ialah ilmu bunyi yang menyelidiki bunyi-bunyi bahwa tanpa melihat fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa (langue) (cf. Malmberg, 1963:1; Verhaar, 1977:12; Ramelan, 1982:3). Fonetik menyelidiki bunyi bahasa dari sudut tuturan atau ujaran (parole) (Sudarjanto, 1974:1). Misalnya, perbedaan bunyi vokal depan madya atas [ e ] dengan vokal depan madya bawah [ ε ] dalam bahasa Indonesia. Perbedaan bunyi vokal letup bilabial [ b ] tak beraspirasi dengan [ bh ] yang beraspirasi dalam bahasa Indonesia dan Madura.
Dengan kata lain fonetik ialah ilmu yang menyelidiki dan berusaha merumuskan secara teratur tentang hal ikhwal bunyi bahasa. Bagaimana cara terbentuknya; berapa frekuensi, intensitas, timbrenya sebagai getaran udara; dan bagaimana bunyi itu diterima oleh telinga. Kata sifat fonetik adalah fonetis (phonetic).

F. Jenis Fonetik

            Berdasarkan luasnya cakupan studi fonetik, hal ini dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu
Fonetik organis, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
1.    Fonetik Organis
a.    Fonetik jenis ini menitikberatkan pada proses terjadinya bunyi bahasa oleh organ ucap manusia (organ of speech). Karena organ ucap sangat erat hubungannya dengan tubuh manusia sebagai makro, fonetik ini juga sangat erat dengan fisiologis (ilmu tubuh manusia). Jadi fonetik organis disebut juga fonetik fisiologis.
b.    Fonetik jenis ini sering juga disebut fonetik artikulatoris, karena alat bicara manusia sekarang lebih banyak berfungsi sebagai sistem artikulasi.
c.    Mengapa kajian ini lebih banyak diterima dalam bidang lingustik ?
2.    Karena setiap kajian lingustik harus mempunyai manfaat bagi lingustik (ilmu bahasa) itu sendiri, dan kajian fonetik artikulatoris ini paling bermanfaat bagi ilmu bahasa dan paling mudah dilaksanakan.
3.    Fonetik Akustik
a.    Fonetik akustik merupakan fonetik yang paling eksak, karena didasarkan pada penemuan – penemuan ilmu fisika dan matematika. Bagi pakar bahasa cara ini dianggap kurang praktis karena selain cara ini sulit diterangkan, juga mereka tidak mempunyai kesempatan yang leluasa untuk mempelajari fisika dan matematika. Fonetik akustik ini menyelidiki bunyi – bunyi bahasa menurut aspek fisiknya, artinya bunyi – bunyi bahasa pada hakikatnya bunyi akan menggetarkan udara di sekitar dan terjadilah bunyi bahasa yang didengar telinga.
4.    Fonetik Auditoris
a.    Fonetik ini menekankan pada cara penerimaan bunyi – bunyi bahasa oleh telinga. Indra pendengaran manusia yang terdiri atas daun telinga, selaput gendang, tulang martil, landasan, sangguriti, rumah siput dll. Bunyi – bunyi bahasa yang berupa gelombang bunyi itu menggetarkan selaput gendang yang dilanjutkan oleh tulang martil, landasan,dan sanggurdi menuju rumah siput.Vokal / i / yang mempengaruhi / k / pada kata “maki” tergolong vokal depan, yang mengakibatkan / k / pada “maki” tertarik ke depan (disebut velar depan).

G. Komponen Fonologi


            Komponen fonologi merupakan satu dari dua komponen utama tata bahasa (yang sebuah lagi; komponen sintaksis). Fonologi memetakan setiap kali sintaksis menjadi suatu gambaran ciri-ciri fonetik yang paling terperinci; yaitu menyajikan setiap kalimat dengan ucapannya. Komponen fonologi tidak berhubungan dengan komponen semantik sesuatu pemerian linguistik selama kedua komponen ini beroperasi secara sendiri-sendiri pada struktur sintaksis.
            Komponen fonologi merupakan komponen tata bahasa generatif yang merubah gambaran fonetik sistematik dari suatu tali sintaksis formatif menjadi gambaran fonetik sistematis dan merupaka sistem kaidah-kaidah siklus yang memetakan struktur-struktur permukaan menjadi gambaran-gambaran fonetik. Olehkarena komponen fonologi ini merubah tali formatif menjadi gambaran fonetik, maka dia merupakan jembatan penghubung antara sintaksis dan fonetik.
            Perlu dicatat bahwa komponen fonologi hanya beroperasi pada penanda-penanda frase turunan terakhir dari sintaksis. Komponen fonologi bersifat interpretatif belaka. Dengan singkat dapat disimpulkan bahwa komponen fonologi sebenarnya fonetikdari setiap kata beserta akhiran-akhirannya; intonasi kalimat dan sebagainya. Dengan kata lain, kaidah-kaidah komponen fonologi melukiskan bagaimana caranya setiap kalimat diucapkan.
            Pemerian pengetahuan tata bahasa seseorang tidak mencakup bagaimana sebenarnya dia mempergunakan pengetahuan tersebut dalam produksi dan komprehensi dalam pembentukan dan pemahaman kalimat-kalimat. Tata bahasa tidak menentukan proses informasi kemampuan-kemampuan otak manusia yang dibutuhkan bagi komunikasi lisan.
            Konsep yang kita perbincangkan ini seringkali ditandai sebagai pembedaan antara kompetensi linguistik dan performansi linguistik. Kompetensi linguistik hanya mengacu kepada pengetahuan si pembicara asli mengenai bahasanya (tata bahasa), sedangakan performansi linguistik mengacu kepada perangkat keterampilan dan strategi yang dipergunakan oleh si pemakai bahasa bila dia menerapkan kompetensi linguistiknya dalam produksi dan komprehensi kalimat-kalimat. Hal ini diturunkan dari konsepsi Ferdinand de Saussure mengenai langue (yang berarti “bahasa” beranalogi dengan kompetensi) dan parole (yang berarti “ujaran” beranalogi dengan performansi).
            Sejalan dengan perkembangan linguistik dan psikolinguistik dalam kerangka ini, maka ide kompetensi/performansi inipun telah mengalami perubahan-perubahan. Misalnya, beberapa sarjana telah menunjukkan bahwa banyak aspek kompetensi dan performansi seakan-akan berhubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendek kata kompetensi dan performansi merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
            Untuk menggambarkan pembedaan antara kompetensi dan performansi, maka ada baiknya kita menarik suatu analogi antara bahasa dan catur. Sebelum seseorang dapat bermain catur maka harus mempelajari telebih dahulu kaidah-kaidah permainan; bagaimana caranya menjalankan buah pada papan catur. Peraturan-peraturan melukiskan susunan-susunan buah yang sah di atas papan catur, yaitu susunan-susunan tertentu tidak mungkin karena tidak dapat dicapai oleh setiap urutan gerakan yang sah. Analogi antara kaidah-kaidah tata bahasa memerikan kalimat-kalimat dalam bahasa, maka kaidah-kaidah catur membatasi dan menentukan susunan buah yang mungkin pada papan catur.
            Sekarang andai kata orang yang baru saja menguasai kaidah-kaidah permainan tersebut berusaha bermain melawan seorang pemain yang berpengalaman. Orang baru ini akan jelas mati diserang, walaupun dia mungkin tidak pernah membuat gerakan yang tidak sah. Kualitas-kualitas apakah yang dimiliki oleh pemain yang berpengalaman itu sehingga orang baru itu kalah? Pemain catur yang berpengalaman itu memiliki pengetahuan dasar tentang kaidah-kaidah permainan serta seperangkat keterampilan dan siasat untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan khusus. Dengan kata lain, pemain catur yang berpengalaman itu memiliki bayangan gambaran susunan yang berarti membuat skakmat sang lawan, dan berusaha memperolehnya dengan serangkaian gerakan yang sah. Pemain yang lebih terampil daripada yang lainnya akan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu , agar dapat bermain dengan baik maka pemain harus memiliki – sebagai tambahan pada kompetensi catur (pengetahuan mengenai kaidah-kaidah permainan) – seperangkat strategi atau siasat yang memudahkannya bertindak sebagai pemain catur. Sudah tentu strategi-strategi ini beranalogi dengan performansi linguistik.
            Analogi antara catur dan bahasa mempunyai pembatasan-pembatasannya, seperti juga halnya semua analogi. Kaidah-kaidah linguistik – berbeda dengan kaidah-kaidah catur – tidak selamannya bersifat sadar atau disengaja. Untuk mempelajari kaidah-kaidah catur maka seseorang harus duduk dan mengingatnya. Tidak mungkin mempelajari sesuatu bahasa dengan cara itu; lagi pula tak pernah ada orang yang mempelajari bahasa ibunya dengan cara itu. Meskipun demikian, barangkali contoh ini dapat membantu menjelaskan sifat umum pembedaan antara kompetensi dan performansi, antara kemampuan dan perbuatan. 

H. Alat Ucap   

            Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus dibacarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa. Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai fungsi utama lain yang bersifat biologis. Misalnya, paru – paru untuk bernafas, lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, secara kebetulan alat – alat itu diinginkan juga untuk berbicara. Kita perlu mengenal nama – nama alat – alat itu untuk bisa memahami bagaiamana bunyi bahasa itu diproduksi; dan nama – nama bunyi itu pun diambil dari nama – nama alat ucap itu. Untuk mengenal alat – alat ucap itu, perhatikan bagan berikut, dan perhatikan
-  Paru - paru
-  Batang tenggorokan (trachea)
-  Pangkal tenggorokan (larynx)
-  Pita suara (vokal cord)
-  Krikoid (cricoid)
-  Tiroid (thyroid) atau lekun
-  Aritenoid (arythenoid)
-  Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
-  Epiglotis (epiglottis)
-  Akar lidah (root of tongue)
-  Pangkal lidah (back of the tongue, dorsum)
-  Tengan lidah (middle of the tongue, medium)
-  Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
-  Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
-  Anak tekak (uvula)
-  Langit – langit linak (soft palate, velum)
-  Langit – langit keras (hard palate, palatum)
-  Gusi, lengkung kaki gigi (alveolum)
-  Gigi atas (upper teeth, dentum)
-  Gigi bawah (lower teeth, dentum)
-  Bibir atas (upper lip, labium)
-  Bibir bawah (lower lip, labium)
-  Mulut (mouth)
-  Rongga mulut (aral cavity)
-  Rongga hidung (nasal cavity)


I. Unsur-unsur Segmental


1) Klasifikasi Vokal


            Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi, misalnya bunyi [ i ]  dan [ u ]; vokal tengah, misalnya [ e ] dan [ ә ]; dan vokal rendah, misalnya, bunyi [ a ]. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan, misalnya [   ] dan [e]; vokal pusat , misalnya; bunyi [ ә ] ; dan vokal belakang, misalnya; bunyi [u] dan [o].
            Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut vokal dibedakan sebagai berikut;
[ i ] adalah vokal depan tinggi tak bundar
[ e ] adalah vokal depan tengah tak bundar
[ ә ] adalah vokal pusat tengah tak bundar
[ o ] adalah vokal belakang tengah bundar
[ a ] adalah vokal pusat rendah tak bundar

2) Klasifikasi  Diftong atau Vokal Rangkap

            Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya,. Namun, yang dihasilkan bukan dua buah bunyi, melainkan hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel. Contoh diftong dalam bahasa Indonesia adalah [ au ] seperti terdapat pada kata kerbau dan harimau. Contoh lain bunyi [ ai ] seperti terdapat pada kata sungai dan landai, Contoh lain bunyi [ oi ] seperti pada kata amboidan sepoi. Apabila ada dua buah vokal berturutan, namun yang pertama terletak pada suku kata yang berlainan sari yang kedua, maka di situ tidak ada diftong. Jadi, vokal [ au ] dan [ ai ] pada kata bau dan lain bukan diftong.
            Mengapa disebut diftong naik dan diftong turun?
Disebut diftong naik karena adanya bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi yang kedua; sebaliknya disebut diftong turun karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua, dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik, sedangkan dalam bahasa Inggris ada diftong naik dan turun. Mengenai jenis diftong tersebut, ada konsep yang berlainan. Diftong naik atau diftong turun bukan ditentukan berdasarkan posisi lidah melainkan didasarkan atas kenyaringan (sonoritas) bunyi itu. Kalau sonoritasnya terletak di muka atau pada unsur yang pertama . Maka dinamakan diftong turun; kalau sonoritasnya terletak  pada unsur kedua maka namanya diftong naik. Umpamanya, bunyi [ ai ] pada kata landai, sonoritasnya terletak pada unsur pertama, sedangkan pada kata Prancismoi yang dilafakan [mwa] sonoritasnya terletak pada unsur kedua. Jadi, pada kata itu terda[at diftong naik (Parera, 1983).

3) Klasifikasi Konsonan

 
          Berdasarkan tempat artikulasinya kita mengenal konsonan sebagai berikut;
Ø  Bilabial, yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada bibir atas. Yang termasuk konsonan bilabial ini adalah [ p ], [ m ], dan [ b ]. Dalam hal ini perlu diperhatikan bunyi [ p ] dan [ b ]adalah bunyi oral, yaitu yang dikeluarkan melalui rongga mulut, sedangkan [ m ] adalah bunyi nasal yang dikeluarkan melalui rongga hidung.
Ø  Labiodental, yaitu konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah merapat pada bibir atas.Yang termasuk konsonan labiodental adalah bunyi [ f ] dan [ v ].
Ø  Laminoalveolar, yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi; dalam hal ini, daun lidah menempel pada gusi. Yang termasuk konsonan ini adalah bunyi [ t ] dan [ d ].
Ø  Dorsovelar, yakni konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan velum atau langit-langit lunak. Yang termasuk konsonan ini adalah bunyi [ k ] dan [ g ].
Berdasarkan cara artikuasinya, artinya bagaimana gangguan  atau hambatan yang dilakukan terhadap arus udara itu, pembagian konsonan sebagai berikut;
1)      Hambai (letupan, plosif, stop) di sini artikulasi menutup penuh aliran udara, sehingga udara mampat di belakang  tempat penutupan itu. Kemudian penutupan itu dibuka secara tiba-tiba, sehingga menyebabkan terjadinya letupan.  Yang termasuk konsonan ini adalah [ p, b, t, d, k, g ].
2)      Geseran atau frikatif. Di sini artikulasi aktif mendekati artikulator pasif, membentuk celah sempit, sehingga udara yang lewat  mendapat gangguan pada celah itu. Misalnya bunyi [ f, s, dan z ].
3)      Paduan atau frikatif. Di sini artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran udara, lalu membentuk celah sempit dengan artikulator pasif. Cara ini merupakan gabungan antara  hambatan dan frikatif. Misalnya bunyi [ c ] dan [ j ].
4)      Sengauan atau nasal. Di sini artikulator menghambat sepenuhnya  aliran udara melalui mulut, tetapi membiarkannya keluar melalui rongga hidung dengan bebas. Misalnya bunyi    [ m ], [ n ], dan [ ŋ ].
5)      Geseran atau trill. Di sini artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif, sehingga getaran bunyi itu terjadi berulang-ulang. Misalnya konsonan [ r ].
6)      Sampingan atau lateral. Di sini artikulator aktif menghambat aliran udara pada bagian tengah mulut; lalu membiarkan udara keluar melalui samping lidah. Contohnya konsonan [l].
7)      Hampiran atau aproksiman. Di sini artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti  dalam pembentukan vokal, tetapi tidak cukup seperti untuk menghasilkan konsonan geseran. Oleh karena itu, bunyi yang dihasilkan sering juga disebut semi vokal. Misalnya konsonan [ w ], [ y ].

J. BUNYI SUPRASEGMENTAL

Bunyi suprasegmental ialah bunyi-bunyi yang menyertai bunyi segmental, seperti juga bunyi segmental. Bunyi-bunyi suprasegmental dapat diklasifikasikan menurut ciri-cirinya waktu diucapkan. Ciri-ciri bunyi suprasegmental waktu diucapkan itu disebut ciri-ciri prosodi (prosodic festures) ( Bloch & George, 1942:34; Samsuri, 1970:6-7) dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1)      Panjang atau Kuantitas

Panjang menyangkut lamanya bunyi diucapkan. Suatu bunyi segmental yang waktu diucapkan alat-alat ucap dipertahankan cukup lama, pastilah disertai bunyi suprasegmental dengan ciri prosodi yang panjang. Jika alat ucap dalam membentuk bunyi segmental itu tidak dipertahankan cukup lama hanya sebentar, maka bunyi suprasegmental penyertanya ialah dengan ciri prodi pendek.
Adapun tanda untuk panjang ialah dengan [….:] (tanda titik dua di sebelah kanan bunyi segmental) , tanda untuk panjang itu disebut mora, seperti yang lazim dipakai dalam bahasa jepang (Samsuri, 1978:122).

2)      Nada (Picth)

Sebagai unsur suprasegmental, nada membicarakan tinggi rendahnya bunyi ujaran. Nada ini lebih erat hubungannya dengan tekanan daripada dengan kuantitas. Tanda fonetis untuk menyatakan nada lazimnya berupa angka 1-4. Angka tersebut diletakkan di atas bunyi segmental.
      Dalam sebuah mikrosegmen (kata), tinggi nada biasanya dibedakan ke dalam tinggi nada awal, puncak tinggi nada, dan tinggi nada akhir. Tinggi nada awal mengacu kepada tinggi nada yang terjadi pada awal sebuah kata. Puncak tinggi nada mengacu kepada tinggi nada tertinggi dalam sebuah kata. Tinggi nada akhir mengacu kepada tinggi nada pada titik akhir sebuah kata. Tinggi nada awal berkisar 130 – 180 Hz, puncak tinggi nada akhir 90 – 110 Hz.
                    2 3  2
Contoh   { s i a p a }  ” nada bertanya ”

3)      Tekanan

Tekanan kata dalam bahasa Madura boleh disebut ‘tonotemporal’ artinya bahwa tekanan itu merupakan sejenis kemenonjolan yang lebih banyak ditandai oleh tinggi nada (bersifat tonal) dan oleh rentang waktu tempat suku kata bertekanan diucapkan (bersifat temporal) daripada oleh intensitas (Halim, 1984:38). Walaupun demikian, nada tertinggi tidak mesti muncul pada suku kata yang memiliki rentang waktu (jangka) terpanjang. Demikian juga, tidak seharusnya nada tinggi muncul bersamaan dengan intensitas terkuat.
         Secara umum, tekanan dalam suatu bahasa dibedakan  ke dalam empat macam tekanan: keras, agak keras, sedang, dan lembut. Secara fonetis keempatnya dilambangkan dengan tanda diakritik yang diletakkan di atas bagian suku kata yang mendapatkan tekanan, tanda-tanda tersebut meliputi:
/..´.. /             tekanan keras
/..^../             tekanan agak keras
/...̀.../             tekanan sedang
/..ˇ../              tekanan lembut
Contoh: { pergi !}, { mengapa nak ? }

4)      Jeda atau Persendian

Sebagai ciri suprasegmental, jeda (sendi) mengacu kepada peralihan dari satu bunyi segmental ke bunyi segmental yang lain atau dari bunyi segmental ke kesenyapan. Baik di dalam kata maupun yang mengakhiri kata. Jeda yang ada di dalam kata disebut jeda tutup (close juncture), sedangkan jeda yang mengakhiri kata disebut jeda buka (open juncture) atau jeda plus. Jadi, jeda lebih cenderung menunjukkan kepada perhentian sejenak.
Menurut tempatnya jeda dapat dibedakan menjadi empat (Samsuri, 1970:15-16).
a)      Jeda antar suku kata dalam kata ditandai dengan [+]
b)      Jeda antar kata dalam frasa ditandai dengan [ / ].
c)      Jeda antar frasa dalam klausa ditandai dengan [ / / ].
d)     Jeda antar kalimat dalam wacana ditandai dengan [ # ].
Contoh: Mahasiswa baru / datang.
              Mahasiswa / baru datang.


PENGARUH BUNYI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLITERASI

A.    Pengaruh-mempengaruhi Bunyi
Dalam hal pengaruh-mempengaruhi bunyi dapat ditijau dari dua segi, yaitu akibat dari pengaruh- mempengaruhi bunyi itu dan tempat artikulasi yang manakah yang mempengaruhi.Akibat dari pengaruh-mempengaruhibunyi disebut proses asimilasi. Sedangkan tempat artikulasi yang mana yang mempengaruhi disebut artikulasi penyerta (ko-artikulasi sekunder).
1) Proses Asimilasi                                                               
Proses asimilasi di sini terbatas pada asimilasi fonetis saja, yaitu pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Menurut arahnya, asimilasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Asimilasi progresif
Asimilasi progresif terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke depan. Seperti perubahan bunyi [t] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan secara apiko-dental, tetapi dalam kata stasiun, letup [t] itu diucapkan secara lamino-alveolar. Perubahan letup apiko-dental [t] menjadi letup lamino-alveolar [t], karena pengaruh secara progresif dari bunyi geseran lamino-alveolar [s].
b.      Asimilasi regresif
Asimilasi regresif terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Seperti perubahan bunyi [n] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan secara apiko-alveolar, tetapi dalam kata pandan, nasal sebelum [ḍ] itu diucapkan secara apiko-palatal. Perubahan nasal apiko-alveolar [n] menjadi nasal apiko-palatal [n] karena pengaruh secara regresif dari bunyi letup palatal [ḍ]. Dengan demikian tulisan fonetis untuk pandan dalam bahasa Indonesia ialah [panḍan] dan dalam bahasa Jawa ialah [pandhan].
2) Artikulasi Penyerta
Bunyi [k] dalam kata kucing (dalam bahasa Indonesia /Jawa) dengan [k] dalam kata kijang (bahasa Indonesia) atau kidang (bahasa Jawa) berbeda; walaupun menurut biasanya atau menurut artikulasi primernya sama, yaitu merupakan bunyi dorso-velar yang dibentuk dengan artikulasi pangkal lidah dan langit-langit lunak. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya artikulasi penyerta (ko-artikulasi atau artikulasi sekunder) bunyi vokal yang langsung mengikutinya (cf. Bloch & George, 1942:29; Samsuri, 1978:119).

Berdasarkan tempat artikulasinya, maka proses pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi:
1)      Labialisasi
Labialisasi adalah pembulatan bibir pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [w] pada bunyi utama tersebut. Kecuali bunyi labial dapat disertai labialisasi. Bunyi [t] dalam kata tujuan (dalam bahasa Indonesia atau Jawa Misalnya, terdengar sebagai [w] [tw]  dilabialisasi).

2)      Retrofleksi
Retrofleksi adalah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utamanya. Kecuali apikal, bunyi dapat disertai retrofleksi. Misalnya [k] diretrofleksi dalam kata kerdus.

3)      Palatalisasi
Palatalisasi adalah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal dapat disertai  palatalisasi. Bunyi [p] dalam kata piara (bahasa Indonesia/Jawa) misalnya, terdengar sebagai [py] [p] dipalatalisasi.
4)      velarisasi
Velarisasi adalah pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada aretikulasi primer. Selain bunyi velar bunyi-bunyi dapat divelarisasi. Bunyi [m] dalam kata makhluk (bahasa Indonesia) misalnya, terdengar sebagai [mx] [m] divelarisasi.
5)      Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses penyerta hambatan pada (glotis tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer diucapkan. Selain bunyi glotal dapat disertai glotalisasi. Vokal pada awal kata dalam bahasa Indonesia dan Jawa sering diglotalisasikan. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata akan diucapkan [?akan] dan [?obat].

                






        
Daftar Rujukan

1. Marsono                                          : Fonetik
2. Verhaar                                           : Pengantar Linguistik, Asas-asas Linguistik
3. Samsuri                                           : Analisis Bahasa
4. Abdul Chaer                                   : Linguistik Umum
5. Nazir Thoir dan Iwayan S: Ilmu Bahasa Indonesia: Fonologi
6. Abdul Wahab                                  : Butur-butir Linguistik




Sekian yang dapat saya berikan. Semoga bermanfaat.

Thanks for reading & sharing adskproject

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Post a Comment